A Woman’s Worth (Part 2-END)

A Woman’s Worth (Part 2 End)

Author : Youra

Main Cast : Jung Yong Hwa, Park Shin Hye

Cast : Lee Hong Ki, Kim Jiwon, ect.

Genre : Romance, Family

Lenght: Twoshoot // Rate : PG 17

FB : https://www.facebook.com/calm.yeoja

Disclaimer : Cerita ini hanyalah hasil imajinasi pengarang. Nama yang dipakai hanya meminjam. Please Do not Bash, Don’t copy paste!

Warning: Harap maklum jika menemukan banyak typos dan part berantakan. 😀

Happy reading!!!

“Aku penasaran, apakah kepergianku mampu memberimu jawaban dimana tempatku dalam hidupmu? Sudahkah kau menyadari kesalahanmu? Menyesalkah dirimu? Apakah kau menangis disetiap malam atas penyesalanmu itu? Sebab saat kenangan itu kembali, hal yang kuingat tentangmu adalah ‘luka’.” –PSH

“Kalau saja kau tahu seberapa besar kau berarti untukku, seumpama kau tahu seberapa dalam penyesalanku, akankah kau akan kembali padaku? Mungkinkah aku bisa memilikimu kembali, meski itu hanya untuk sesaat lalu kita bisa duduk dan berbicara lagi persis seperti apa yang dulu selalu kita lakukan? Dan meskipun kini semua kenangan tentangku tak tersisa dalam memorimu, tapi tetap, aku masih menunggu untuk bertemu denganmu lagi.” –JYH

~0~0~0~

“Itu tidak benar bukan?”

Apartemen Yonghwa terasa begitu dingin malam itu. Jiwon duduk memandang Yonghwa dengan matanya yang berkaca-kaca. Hatinya hancur saat tanpa sengaja dia melihat Yonghwa di bar tadi dan yang membuatnya lebih sakit adalah dia melihat Yonghwa menari bersama Shinhye kemudian menemani wanita itu berjalan ke rumahnya. Saat ia akan menghampiri Yonghwa, Hongki menahannya dan mengatakan bahwa Yonghwa ingin memulai yang baru bersama Shinhye.

Jiwon merasakan sesak semakin menyiksa dadanya ketika ia tidak mendengarkan jawaban dari Yonghwa. Pria itu hanya diam sambil menimang Joonhee dilengan kuatnya. “Yonghwa! Apa yang dikatakan Hongki tidak benar bukan? Kau tidak berniat kembali pada Shinhye lagi bukan?”

“Kau sudah melihatnya Jiwon-a.” Lirih Yonghwa membuat Jiwon membuka mulutnya samar, wanita itu kehilangan kata-kata. “Tidak ada yang perlu aku sangkal.” Tambah Yonghwa sukses membuat airmata Jiwon menetes begitu saja.

“Aku tidak percaya ini.” Desis Jiwon dalam tawa getirnya.

“Aku tahu. Tidak ada yang percaya ini akan terjadi.” Balas Yonghwa. Ia tersenyum tipis mengingat wajah terkejut Hongki melihat betapa cepatnya dia memulai langkahnya mendekati Shinhye lagi lalu ia juga ingat betapa shock-nya Nyonya Park hingga nyaris memekik terkejut melihat dia mengantar Shinhye pulang. Namun Shinhye dengan polosnya menggoda Nyonya Park dan memperkenalkan mereka, dengan mengatakan bahwa Nyonya Park adalah penggemar beratnya.

“Tidak.” Jiwon menggeleng tidak percaya, pikirannya masih ingin menyangkal semua ini. Dia berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekati Yonghwa yang berdiri didekat jendela kaca apartemen itu. “Kau tidak bisa melakukan ini. Shinhye sangat tidak suka profesimu, jika kau meneruskan ini maka kau mungkin akan kehilangan mimpimu sebagai pembalap.”

Satu senyuman samar terlihat diwajah Yonghwa. “Aku tidak takut.” Pandangannya tertunduk menatap Joonhee yang tampak terpejam dilengannya. “Jika dia tidak menginginkanku menjadi pembalap, aku akan melepaskan mimpiku itu. Aku sadar, tidak artinya aku menjadi pembalap kalau Shinhye tidak disisiku. Joonhee dan aku membutuhkan Shinhye.”

Jiwon bisa melihat kejujuran dan ketulusan dimata Yonghwa saat mengatakan itu. Dia juga tidak menemukan keraguan sama sekali. Yonghwa sangat serius dengan ucapannya dan entah bagaimana, itu membuat Jiwon panik. “Kau tetap tidak bisa melakukannya. Shinhye tidak mengingatmu. Dan ingatlah bahwa dia membencimu, dia bahkan tidak memberitahumu saat dia mengandung. Bisakah kau bayangkan apa yang akan terjadi jika ingatan wanita itu kembali?” Jeda sejenak, Jiwon mengamati ekspresi wajah Yonghwa yang berubah masam. “Ya, dia akan semakin membencimu lalu mengambil Joonhee darimu.” Tambahnya tepat menusuk jantung Yonghwa.

Tangan kekar Yonghwa semakin memeluk erat Joonhee digendongannya seolah takut seseorang akan mengambil bayi itu saat ini juga. “Aku sudah memikirkan itu. Dan aku memutuskan untuk mengambil apapun resikonya.” Yonghwa merasakan perih dimatanya. Dia memberikan senyuman tipisnya pada Jiwon. “Aku ingin mencobanya. Aku ingin memperbaiki kesalahanku. Aku ingin dia tahu betapa menyesalnya diriku, betapa buruknya hidupku tanpa dia. Aku ingin membuatnya merasakan ketulusanku dan betapa aku mencintainya bahkan saat dia tidak mengingatku. Aku akan membuatnya merasakan betapa berharganya dia bagiku. Mungkin… mungkin dengan begitu, saat dia mengingatku nanti dia akan memaafkanku. Lalu dia membuka hatinya lagi untukku, dan memberiku kesempatan lagi. Dan kami akan menulis cerita baru tentang aku, dia dan putra kami.  Dimana hanya ada kebahagiaan, tawa dan cinta didalamnya. Semua kenangan yang menyakitkan itu akan terhapus dengan sendirinya.” Suara Yonghwa terdengar mengambang, matanya menatap kosong keluar jendela, jelas sekali pikirannya melayang pada lamunannya, membuat bayangan tentang kehidupan bahagia mereka yang mungkin hanya akan tetap menjadi imajinasinya.

“Kau hanya sedang menghibur dirimu sendiri Yonghwa.” Kata Jiwon memotong semua harapan Yonghwa membuat pria itu terkekeh sumbang dengan kepala tertunduk. Hati Jiwon hancur melihat sarat luka terpampang nyata diwajah Yonghwa. “Kau tahu itu semua tidak akan terjadi. Percayalah padaku, saat Shinhye mengingatmu nanti, kebencian dalam hatinya terhadapmu akan semakin besar lalu dia akan mengambil Joonhee darimu.”

“Jiwon-a_”

“Jauhi dia.” Potong Jiwon cepat. Ia terlihat menyedihkan, berusaha mati-matian untuk mengubah keinginan Yonghwa. “Kau sudah bertahan selama ini tanpa dia dan lihat, kau masih bisa  hidup tanpa dia disisimu. Kenapa sekarang kau goyah?”

“Kau tidak akan mengerti. Aku mungkin masih bernafas tapi jiwaku sudah mati, kebahagiaanku sudah mati saat dia tidak disisiku hingga aku merasa nyaris gila.”

Jiwon menggigit bibirnya yang bergetar. Pandangannya tertuju pada Joonhee yang kini menggeliat digendongan Yonghwa. Pasti bayi itu terganggu oleh suara mereka. “Lihatlah aku, aku sudah lama menunggumu tapi aku tidak mengeluh jika harus menunggu lebih lama lagi untukmu. Aku tidak masalah bahkan jika kau tidak mencintaiku, bahkan jika kau tidak bisa melupakannya, aku akan merawat Joonhee seperti putraku sendiri. Tapi kumohon, jadilah milikku.” Ujarnya dengan suara memohon. Dia tahu ini memalukan, mengemis seseorang yang tidak mencintaimu untuk menjadi milikmu. Tapi dia sudah tidak tahan lagi. Sudah lama dia menunggu Yonghwa untuk melihatnya sebagai seorang wanita, tapi dia tidak pernah berhasil dan sekarang, kenyataan bahwa pria itu akan kembali pada Shinhye benar-benar mencekiknya.

“Maafkan aku.” Suara rendah Yonghwa terdengar seperti tikaman mematikan baginya. Dia kembali ditolak tanpa ragu.

Jiwon mengerdipkan matanya lalu tertawa miris seiring dengan Joonhee yang kini mulai menangis keras ditangan Yonghwa. “Aku akan pergi sekarang, tapi ingatlah bahwa aku selalu menunggumu.” Katanya sambil mengusap airmatanya lalu dia berbalik dan berjalan meninggalkan apartemen itu.

Yonghwa mendesah pelan. Matanya tampak sayu menatap punggung Jiwon yang menghilang dibalik pintu apartemennya. Dia sangat terluka melihat Joonhee tumbuh tanpa seorang ibu selama hampir setahun ini, dia ingin Shinhye kembali namun ucapan Jiwon terngiang ditelinganya. Bahwa Shinhye akan semakin membencinya dan akan mengambil Joonhee darinya saat ingatan wanita itu kembali nanti. Ia memeluk erat Joonhee, mendekapnya semaki erat didada kerasnya. Oh Tuhan, dia sangat takut jika Shinhye benar-benar tidak ingin memaafkannya dan mengambil Joonhee darinya. Dia tidak akan sanggup kehilangan dua orang yang paling berharga dari hidupnya.

~0~0~0~

Shinhye tersenyum dan menghentikan langkahnya ketika matanya melihat seorang pria berdiri bersandar pada tembok luar –disamping gerbang rumahnya. Pria itu mengangkat kepalanya saat merasa Shinhye sudah berdiri didepannya. Seulas senyuman tampan terpampang di wajahnya ketika pandangan mereka bertemu. “HeyI miss you.” Sapa pria itu –setelah berdiri tegak didepan Shinhye—membuat wanita itu menelan tawa gelinya.

Cheesy.

Shinhye menegakkan tubuhnya, memperbaiki posisi tasnya dibahunya lalu balas menyapanya. “I miss you too.”  Shinhye tersenyum kecil. Diliriknya sekilas arloji ditangannya lantas kembali menatap wajah pria didepannya itu. “Apa yang kau lakukan disini pagi-pagi Tuan Jung?”

“Tentu saja menjemputmu Nona Park.” Sahut Yonghwa ringan sambil memberikan sebuah wink pada Shinhye membuat wanita itu tertawa singkat. “Kau tidak melupakan game kita bukan?”

“Tentu saja tidak.” Shinhye menggeleng lalu ia kembali bersuara, masih dengan tawanya. “Tapi aku tidak menyangka kau akan seantusias ini.”

Yonghwa mengangkat ringan bahunya. “Kalau begitu aku peringatkan kau untuk berhati-hati.” Ujarnya dengan nada santainya.

“Kenapa?”

“Karena aku ini pekerja keras.” Jawabnya. “Dan….” Yonghwa mengangkat satu tangannya, jari manis dan kelingkingnya ditekuk membentuk pistol lantas mengarahkannya dikening Shinhye. “Bang! Aku akan menembakkan pesonaku dan kau akan jatuh cinta padaku.” Lanjutnya lalu menurunkan tangannya dan menyembunyikannya disaku celana. Dia tertawa ketika Shinhye tertawa lepas menanggapi ucapannya. Sebuah tawa yang begitu indah ditelinganya, tawa yang sejak dulu hingga sekarang dengan ajaibnya bisa membuatnya ikut tertawa. Sebuah tawa yang sama yang selalu mampu membuatnya jatuh cinta, dulu dan sekarang.

“Kau begitu percaya diri.” Komentar Shinhye masih betah tetawa lalu dia memulai langkahnya terlebih dulu.

Yonghwa segera berlari kecil mengejar Shinhye berusaha menyamai langkah wanita itu. “Percaya diri adalah poin pentingnya.”

“Oke.”

“Hanya oke?” Yonghwa terkekeh tak percaya.

“Lalu?”

“Berikan komentarmu.”

Shinhye menolehkan kepala pada Yonghwa yang berjalan disamping kanannya lantas menatapnya sejenak. “Aku suka pria percaya diri.” Katanya.

“Aku tahu.” Ujar Yonghwa. “Menurutmu pria yang percaya diri itu keren dan memiliki aura kuat dan daya tarik tersendiri.”

Shinhye memasang raut tanya diwajahnya lalu bertanya. “Kau tahu?” Yang dijawab dengan sebuah anggukan dari Yonghwa. “Hongki memberitahumu?” Tanyanya lagi namun kali ini Yonghwa tidak menjawab melainkan hanya mengedikkan bahunya singkat dan tersenyum tipis. Lalu keadaan menjadi hening, tidak ada yang bersuara, mereka hanya diam dan berjalan beriringan. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Yonghwa. Dia tidak tahu bahwa tanpa Hongki sekalipun, Yonghwa mengetahui segala hal tentangnya sebab mereka pernah hidup bersama cukup lama.

“Hari ini dinginkan?” Sebuah pertanyaan ringan itu keluar dari bibir Yonghwa memecahkan keheningan. Dijawab dengan sebuah gumaman oleh Shinhye. “Bagaimana kalau minum kopi dulu?” Tawarnya sambil menunjuk sebuah coffee shop diseberang jalan.

“Bukan ide buruk.” Sahut Shinhye dengan senyumannya.

Mereka lantas menghentikan langkah ditepi jalan hendak menyebrang menuju coffee shop itu. Shinhye memerhatikan rambu-rambu jalan, menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala ketika tiba-tiba tangan kanannya diraih kedalam sebuah genggaman erat dan hangat. Ekor matanya melirik tangannya yang sudah berada dalam genggaman protective Yonghwa lalu perlahan ia menaikkan pandangannya menatap sisi wajah Yonghwa. Pria itu tidak melihatnya melainkan menatap lurus kedepan, namun seolah menyadari bahwa Shinhye sedang memerhatikan wajahnya, Yonghwa menyunggingkan seulas senyuman lembut. Saat itu, Shinhye merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu dimana kau merasakan debaran lembut didalam dadamu ketika kau mengagumi seseorang dan kau ingin selalu memerhatikan setiap detail wajahnya. Memerhatikan setiap pergerakan sosok itu.

Belum puas Shinhye memerhatikan sisi wajah Yonghwa, pria itu sudah menarik tangannya dengan erat berjalan melewati zebra cross. Shinhye tersenyum dalam diam, banyak pria sudah pernah menggenggam tangannya namun dia tidak pernah merasakan genggaman yang seperti ini. Dia tahu, ini hanyalah sebuah genggaman tangan, tapi dengan hanya mengenggam tangan, dia bisa merasakan isi hati dan ketulusan seseorang. Dia bisa melihat kepribadian seseorang hanya dengan caranya menggenggam tangannya. Dan dengan Yonghwa, dia merasa berbeda. Genggaman tangan pria itu sangat erat dan hangat, begitu posesif seolah takut jika genggaman itu merenggang sedikit saja maka genggaman itu akan terlepas. Sebuah genggaman yang membuatmu merasa seolah kau begitu dilindungi dan dicintai, seakan orang yang menggenggammu tidak ingin melepaskanmu. Shinhye menundukkan kepalanya, merasakan tangan pria itu begitu pas menggenggamnya seolah tangan mereka diciptakan untuk satu sama lain.

* * *

Dan disinilah mereka, duduk berhadapan disalah satu meja didalam coffee shop yang terletak disamping dinding kaca. Yonghwa tersenyum memerhatikan Shinhye yang menggenggam cangkir kopi panas dengan kedua tangannya seolah dengan menggenggam seperti itu akan mampu membuat tubuhnya ikut merasa hangat. Dilihatnya cara Shinhye meniup kopi itu membuat kepulan asapnya menari diatasnya lalu menyeruput pelan cairan panas berwarna hitam itu dengan mata terpejam, terlihat jelas bahwa dia bukan hanya menikmati rasa pahitnya saja melainkan juga menikmati aroma kuat khas kopi itu.

Sebuah kekehan kecil keluar dari mulut Shinhye setelah ia menyeruput kopinya dan mendapati Yonghwa menatap lekat padanya. “Jika kau melihatku seperti itu terus, aku yakin kau yang akan lebih dulu jatuh hati padaku.” Sindirnya sembari kembali meletakkan cangkir kopi diatas meja.

Yonghwa memiringkan kepalanya sebentar sambil terus menatap kedalam mata Shinhye. “Aku belum pernah menjadi loser sebelumnya.” Katanya dengan suara tenangnya sementara Shinhye hanya diam menunggu ia melanjutkan kalimatnya. “Dan jika kali ini aku kalah, itu akan menjadi hal baru untukku. Menjadi loser karena wanita sepertimu bukan hal yang buruk.” Lanjutnya sambil mengerdipkan satu matanya pada Shinhye.

Shinhye kembali memecahkan sebuah tawa gelinya sambil berseru kecil. “Yah!” Menanggapi sisi cheesy Yonghwa yang kini ikut tertawa bersamanya. Lalu mereka hanya diam mendengarkan alunan musik klasik yang terputar di coffee shop itu sambil menikmati kopi panas mereka dan mencuri pandang satu sama lain, sesekali tersenyum saat tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.

“Kau tidak ingin bertanya tentangku?” Tanya Shinhye setelah beberapa saat mereka hening.

“Kau ingin bercerita tentangmu padaku?” Yonghwa balas bertanya dengan senyuman karismatiknya.

“Oh.. aku tidak menyangka kau akan menjawabku seperti itu.” Komentar Shinhye jujur sambil terkekeh kecil. “Semua pria yang kutemui akan banyak bertanya tentangku tapi lihat apa yang kau katakan padaku tadi.” Tambahnya dengan nada tidak percayanya.

Well..” Yonghwa melipat kedua tangannya yang bertumpu dimeja. “…Jujur saja, aku ingin tahu segala hal tentangmu tapi aku tidak akan memaksamu menceritakannya padaku. Aku percaya, kau akan bercerita saat kau ingin. Hal yang paling penting adalah membuatmu nyaman padaku terlebih dulu.” Tambahnya. Dan dia tidak berbohong sama sekali. Meskipun dia sangat ingin mendengarkan bagaimana hidup Shinhye selama ini setelah mereka berpisah tapi dia tidak ingin egois. Dia yakin, jika Shinhye sudah merasa nyaman padanya –seperti dulu saat mereka masih bersama—maka wanita itu akan dengan senang hati berbagi segala hal padanya tanpa ia minta. Jadi untuk sekarang, dia hanya ingin membuat Shinhye nyaman bersamanya, itu saja.

Shinhye sedikit memiringkan kepalanya menatap kedalam mata legam pria didepannya. Mata coklat gelapnya mengunci pandangan pria itu yang tanpa ia sadari membuat bibirnya perlahan melengkungkan sebuah senyuman yang memancarkan kekaguman dan ketulusan. Pria didepannya itu keren, setidaknya sampai saat ini. Dia menyukai sikap gentleman dan easygoing dari pria itu. “Harus kuakui. Kau pria yang menyenangkan dan…. menarik.” Katanya serius.

Yonghwa tertawa pelan mendengar penuturan Shinhye yang terkesan blak-blakan dan apa adanya itu. “Ya, seharusnya aku tidak lupa kalau kau memang selalu to the point seperti ini.” Celetuknya tanpa sadar. Sejenak dia lupa bahwa dia seharusnya berpura-pura tidak tahu menahu apapun tentang wanita didepannya itu. Dia seharusnya mengendalikan lidahnya untuk tidak mengeluarkan celetukan seperti ini dan membuat Shinhye bertanya-tanya tentangnya. Yonghwa menggigit lidahnya saat menangkap wajah berkerut Shinhye.

“Kau sudah tahu banyak hal tentangku rupanya.” Katanya, satu tangannya bertopang dagu. “Seberapa banyak Hongki memberitahumu tentangku?” Tanyanya berpikir bahwa Hongki yang memberitahu Yonghwa segala hal tentangnya.

“Tidak sebanyak yang kau pikirkan.” Yonghwa tersenyum tipis, sesaat kemudian ponselnya yang ia letakkan diatas meja tampak bergetar. Ia melirik sekilas nama yang tertera pada layar ponsel itu. ‘Jiwon’. Ia menghembuskan nafas pelan lalu mengabaikannya.

“Ponselmu berbunyi.” Ucap Shinhye saat ia melihat Yonghwa hanya memandang ponselnya tanpa ada tanda-tanda akan mengangkat panggilan diponselnya itu.

“Aku tahu.” Balas Yonghwa yang kini sudah kembali menatap Shinhye dengan senyuman simpulnya.

“Seseorang menelponmu.”

“Ya.”

Shinhye mengernyit melihat respon Yonghwa yang terkesan acuh tak acuh itu. “Kau tidak ingin mengangkatnya?”

Yonghwa hanya mengerdikkan bahunya singkat. Dia sengaja tidak mengangkat telpon Jiwon sebab dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu. Dia tidak ingin Shinhye merasa tersisihkan lagi karena Jiwon. Satu helaan lembut terdengar darinya lantas dia memandang kesisinya, menatap lurus keluar dinding kaca disampingnya. Memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Pikirannya melambung jauh kepada segala kenangannya bersama Shinhye. Shinhye salah, dia tahu segala hal tentang wanita itu bukan dari Hongki melainkan karena dia selalu perduli pada wanita itu sehingga dia selalu memerhatikan dan mengingat segala hal tentangnya. Mulai dari kebiasannya minum kopi sebelum mengawali harinya dan kecintaannya pada espresso, dia sangat suka duduk berdiam di meja dekat dinding kaca coffee shop seperti ini untuk menikmati kopi dan alunan musik sambil memandang orang berlalu lalang. Yonghwa juga ingat seberapa besar kecintaan Shinhye pada menari, dia tahu betul Shinhye lebih suka berjalan kaki dibandingkan naik kendaraan. ‘Dengan berjalan kaki, aku bisa menikmati udara segar dan mengamati sekelilingku dengan lebih baik. Dan yang terpenting, aku bisa berlama-lama menikmati waktu bersamamu sambil menggenggam tanganmu seperti ini.’ Ujar Shinhye dulu ketika Yonghwa bertanya kenapa dia sangat suka berjalan kaki. Dan… dia juga tahu Shinhye sangat benci merasa kesepian dan itulah kenapa, wanita itu selalu marah setiap kali Yonghwa meninggalkannya sendirian.

“Aku kehilangan sebagian ingatanku.” Suara tenang Shinhye berhasil membangunkannya dari pikirannya. Yonghwa perlahan mengalihkan pandangannya kearah Shinhye yang kini tampak menunduk dengan kedua tangan yang memainkan cangkir kopi diatas meja tepat didepannya. “Tidak sepenuhnya hilang, hanya sebagian.” Tambahnya memperjelas ucapannya sebelumnya.

Yonghwa bergumam pelan. “Aku juga tahu itu.” Sahutnya pelan. “Lalu bagaimana perasaanmu saat kau tahu kau kehilangan sebagian ingatanmu itu?”

“Perasaanku?” Shinhye mengulang pertanyaan Yonghwa lalu seulas senyuman lembut tersungging di bibirnya. “Bersyukur.” Sahutnya singkat.

“Bersyukur?” Kali ini Yonghwa yang mengulang jawaban Shinhye yang menjadi sebuah pukulan keras untuknya. Dalam sedetik wajahnya berubah masam. Rasa kecewa menjalari dirinya. Shinhye-nya, wanita yang dia cintai bersyukur karena ingatannya hilang. Bersyukur karena melupakannya.

“Oh.” Balas Shinhye, dia mengangkat kepalanya memandang lurus Yonghwa. “Meski kehilangan ingatan terdengar buruk, tapi itu tidak lebih buruk dibandingkan jika aku kehilangan nyawaku.” Katanya. Dia menarik nafas panjang lalu menegakkan posisi duduknya sebelum kembali bersuara. “Banyak hal yang bisa aku syukuri, aku selamat dari kecelakaan itu. Lagipula kehilangan sebagian ingatan adalah sebuah keberuntungan. Beruntung aku tidak kehilangan seluruh ingatanku. Aku masih bisa mengingat diriku dan keluargaku juga sahabatku. Aku ingat masa kecilku dan saat-saat aku menjadi dewasa. Bahkan aku tidak yakin apa aku benar-benar kehilangan sebagian ingatanku? Sebab saat ini aku belum menemukan apa yang hilang. Dan setelah kupikir-pikir, sebagian memoriku yang hilang itu bukanlah sesuatu yang besar yang akan mempengaruhi hidupku. Atau mungkin sebagian memori itu bukanlah sesuatu yang baik, jadi Tuhan membiarkan itu terhapus dari hidupku.”

Yonghwa memaksakan senyumannya mendengarkan penuturan Shinhye. Rasa sakit yang benar-benar menyiksa itu kembali menghinggapi hatinya mendengar ucapan Shinhye yang menjadi cambuk mematikan baginya. “Bagaimana kau bisa seyakin itu?” Suaranya tiba-tiba serak. Ada perasaan berat dan terluka didalamnya, terutama ketika mengingat Joonhee, putra mereka. Tentu saja Joonhee adalah sesuatu besar yang akan mempengaruhi hidup Shinhye –yang telah dia lupakan.

“Aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Apa yang terjadi dalam hidup pasti memang sudah ditakdirkan untuk terjadi.” Sahut Shinhye masih dengan suara tenangnya. “Jadi kalau aku kehilangan sebagian ingatanku, itu pasti memang sudah di takdirkan begitu. Mereka sudah digariskan untuk pergi dari ingatan dan kehidupanku.”

 “Aku adalah kenangan yang tidak kau ingat itu.” Bisik Yonghwa dalam hati namun yang dia lakukan hanya berdehem pelan dan mengangguk samar, lalu menundukkan wajahnya. Dia hanya memilih diam dan tidak mengatakan apapun lagi sebab dia sadar, dia melakukan banyak kesalahan dan menyakiti Shinhye saat mereka bersama dulu. Dan mungkin apa yang dikatakan Shinhye adalah benar, Shinhye kehilangan sebagian ingatannya –terutama ingatan tentang Yonghwa—agar dia tidak merasakan sakit karena pria itu lagi.

Lalu selanjutnya mereka hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan coffee shop  itu. Yonghwa membayar bill lalu kembali menggenggam tangan Shinhye dan membukakan pintu keluar untuk mereka. “Kau bahkan belum bertanya aku akan pergi kemana.” Kata Shinhye setelah mereka berjalan keluar dari coffee shop itu.

“Kurasa itu tidak perlu, sebab tidak perduli kemanapun kau pergi, aku akan tetap ikut dan mengantarkanmu.” Balas Yonghwa sambil memandang Shinhye dari sudut matanya. Ia tersenyum lagi ketika melihat Shinhye tampak terhibur dengan ucapannya.

“Kemampuan Lips service-mu sungguh menakjubkan.”

“Oh itu bukan hanya sekedar lips service. Aku berbicara serius.” Sanggah Yonghwa.

“Oh oke, aku percaya.” Shinhye memutar bola matanya namun bibirnya menunjukkan senyuman tertahan miliknya.

Yonghwa tertawa melihat respon Shinhye. “Baiklah jangan mudah percaya padaku karena aku akan menunjukkan lebih padamu nanti.”

“Aku suka itu.” Balas Shinhye dengan ekspresi menantangnya lalu dia tertawa diakhir kalimatnya diikuti oleh Yonghwa yang ikut tertawa bersamanya. Yonghwa mempererat genggamannya pada Shinhye dan mereka berjalan beriringan sambil membicarakan banyak hal. Sama seperti apa yang dulu selalu mereka lakukan, hanya saja kali ini Shinhye tidak mengingatnya.

~0~0~0~

“Kau terlihat senang.” Komentar Nyonya Jung saat dia berkunjung ke apartemen Yonghwa siang itu.

Yonghwa mengulum senyuman bahagianya menanggapi ucapan ibunya. Dia memilih sibuk menikmati masakan ibunya dimeja sementara Nyonya Jung duduk didepannya sambil memangku Joonhee. “Apa begitu terlihat?” Tanyanya masih dengan senyumannya saat ia mengunyah makanan didalam mulutnya.

“Ya, tentu saja. Wajahmu terlihat sangat cerah dan kau tidak berhenti tersenyum.” Sahut Nyonya Jung mantap. “Tapi itu bagus, sudah lama sejak terakhir aku melihatmu secerah ini.” Lanjutnya.

Yonghwa tidak menyahut dan hanya terus tersenyum sambil memasukkan kembali makanan kedalam mulutnya. “Apa ini karena Shinhye?” Tanya Nyonya Jung yang kini ikut tersenyum lembut melihat wajah berbinar putra semata wayangnya.

Yonghwa menelan makanan dimulutnya lalu mengusap bibirnya dengan napkin lantas memfokuskan dirinya pada Nyonya Jung. Dia terkekeh pelan, pasti Nyonya Park sudah menceritakannya pada ibunya bahwa dirinya dan Shinhye kembali dekat dengan cerita baru. Yonghwa mengangguk pelan. “Memangnya siapa lagi yang bisa membuatku seperti ini?” Balasnya sambil tertawa kecil. Ya, sejak dulu hingga sekarang hanya wanita itu yang bisa membuatnya berada pada titik paling bahagia dalam sedetik namun juga bisa membuatnya terjatuh pada titik paling sedih didetik berikutnya. Park Shin Hye benar-benar bisa mempermainkan perasaannya dan merubah suasana hatinya dengan hebat. Yonghwa menghela pelan, matanya memandang lekat Joonhee yang bermain dipangkuan Nyonya Jung. “Dia memang memberikan pengaruh yang sangat besar padaku. Aku bisa menjadi sangat sedih dan sangat bahagia karenanya.”

“Itu karena kau sangat mencintainya.” Celetuk Nyonya Jung. “Saat kau mencintai seseorang, saat itu juga kau sudah memberikan orang itu kekuatan untuk menggenggam hatimu. Dia bisa dengan mudah mengendalikan dirimu, membuatmu bahagia atau sedih, itu semua karena kau mencintainya.”

Yonghwa hanya diam, dia tidak menyangkal ucapan ibunya sebab dia tahu bahwa semua yang dia dengar adalah benar. Dia sangat mencintai Shinhye. Dulu maupun sekarang. Dan dia tidak bisa berbuat apapun untuk mengatasinya. “Ya. Harus aku akui, aku memang masih sangat mencintainya.” Katanya  pelan.

Nyonya Jung mengulum senyuman puas mendengar jawaban Yonghwa. “Jadi?”

Dahi Yonghwa berkerut. “Jadi apa?” Tanyanya balik pada Nyonya Jung dengan wajah bingungnya.

“Kau akan melakukan usaha untuk membuatnya kembali padamu bukan? Atau bahkan mengembalikan ingatannya?” Nyonya Jung memperbaiki posisi Joonhee dipangkuannya.

“Aku ingin.” Sahut Yonghwa sambil menunjukkan sebuah senyuman masam. “Sungguh. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk berharap banyak.”

“Pikirkan tentang Joonhee.” Nyonya Jung mengecup pipi Joonhee yang asyik mengoceh sendirian dipangkuannya, lantas kembali menatap Yonghwa. “Kau tidak akan membiarkan putramu tumbuh tanpa orang tua lengkap bukan?”

Yonghwa menelan ludahnya mendengar ucapan ibunya. Satu tangannya meraih segelas air dari meja lantas meneguknya perlahan, berharap cairan dingin itu mampu mengurangi pergulatan emosi dalam dirinya. Tentu saja dia sangat ingin Shinhye kembali. Pada akhirnya, tidak ada orang didunia ini yang ingin anaknya tumbuh tanpa orang tua yang lengkap. Tapi batinnya selalu menjerit menyesal setiap kali dia mengingat bahwa dialah yang membuat Shinhye pergi. Dia yang dulu menyia-nyiakan Shinhye. Dia sudah banyak menyakiti wanita itu dulu, jadi dia ragu. Apakah dia masih pantas untuk menginginkan Shinhye? Apa dia masih berhak mengharapkan wanita itu lagi?

~0~0~0~

Shinhye berlari kecil mencari tempat berteduh saat rintik hujan tiba-tiba turun ketika dia berjalan pulang. Dia berteduh didepan coffee shop. Sebuah tawa kecil keluar dari mulutnya, menyadari betapa bodohnya dia tidak membawa payung dimusim hujan seperti ini. Kedua tangannya sibuk merapikan rambut dan mengusap coatnya yang sedikit basah terkena rintik hujan. Kemudian ia memeluk erat tubuhnya sendiri berusaha menjaga suhu tubuhnya agar tetap hangat sembari menunggu hujan reda. Matanya memerhatikan lalu lalang orang-orang, ada beberapa yang kebingungan mencari tempat berteduh sepertinya, ada juga yang berjalan cepat dengan payung. Shinhye melirik arloji ditangannya lalu kembali menatap hujan didepannya.

Masih sangat deras. Pikirnya. Tentu saja dia harus menunggu cukup lama sampai hujan berhenti. Jadi daripada harus berdiri seperti ini lebih baik dia masuk kedalam coffee shop, memesan kopi panas lalu duduk menikmati kopi sambil menunggu hujan berhenti. Shinhye menarik nafas pelan lalu bergerak memutar tubuhnya hendak memasuki coffee shop namun dia segera tersentak begitu mendapati Yonghwa sudah berdiri disampingnya dengan senyuman manis diwajah tampannya.

“Terkejut?” Tebak Yonghwa, tertawa geli melihat ekspresi bingung Shinhye. Dahi wanita itu berkerut samar sementara bibir mungilnya sedikit terbuka. Sangat menggemaskan dimata Yonghwa.

“Ya….” Gumam Shinhye pelan, sedikit memiringkan kepalanya. Mencoba menebak darimana Yonghwa datang atau sejak kapan pria itu disana dan apa yang dilakukan pria itu? Sebab Demi Tuhan, dia tidak melihat pria itu saat dia datang tadi. “Kau… sejak kapan disini?” Tanyanya lagi.

Yonghwa mengangkat singkat bahunya. “Sekitar lima belas menit yang lalu? Aku tidak yakin.” Sahutnya. “Espresso.” Tambahnya sambil mengulurkan tangannya menyodorkan coffee cup pada Shinhye yang perlahan meraihnya.

“Masih panas.” Ucap Shinhye setelah menggenggam cup pemberian Yonghwa ditangannya.

Sebuah tawa ringan terdengar dari mulut Yonghwa. “Tentu saja, aku baru saja memesannya.” Ujar Yonghwa, tawanya meredam melihat mata Shinhye menyipit seolah tidak puas mendengar jawabannya. “Oh baiklah sayang, jangan menatapku seperti itu.” Pintanya sambil tersenyum geli. “Aku tadi sengaja ingin menjemputmu, kau tahu Hongki memberitahuku jam pulangmu tapi karena aku rasa aku terlalu awal menjemputmu, jadi aku mampir ke coffee shop untuk menikmati kopi soreku. Lalu tanpa sengaja, saat aku melihat keluar ada seorang wanita cantik berteduh dari hujan. Jadi aku memutuskan untuk menghampirinya setelah memesankan espresso untuknya.” Jelasnya cepat tanpa jeda dengan satu kali tarikan nafas. Ia masih betah memasang wajah cerianya.

Tapi dia berbohong.

Sebenarnya adalah dia sudah tahu jam pulang kerja Shinhye tanpa Hongki memberitahunya lalu dia sengaja menjemputnya lebih awal dan sengaja menunggu di dalam coffee shop sambil menikmati americano favoritnya sebab dia hafal betul kebiasaan buruk Shinhye. Wanita itu paling malas membawa payung dan saat hujan turun, dia akan berlari berteduh ke coffee shop. Dan benar saja tebakannya, tidak lama dia menunggu, dia sudah melihat Shinhye berlari ditengah rintik hujan dan berteduh didepan coffee shop. Jadi dia segera meninggalkan mejanya dan meminta barista membuatkan satu cup espresso untuknya sebelum menghampiri Shinhye. Benar, coffee shop ini memang menjadi tempat berteduh langganan Shinhye sebab jika hujan turun cukup lama, maka dia bisa duduk sambil menikmati espresso kesukaannya. Kadang Yonghwa heran, wanita itu memiliki selera kopi yang kuat. Disaat wanita lain lebih memilih latte atau macchiato, Shinhye justru menyukai rasa pahit yang kuat milik espresso.

“Kau memiliki tekat yang kuat untuk memenangkan game ini dan menjadikanku loser rupanya.” Sindir Shinhye sambil menyeruput kopi panas ditangannya.

Yonghwa tertawa pelan. “Tentu saja.” Balasnya singkat. Meski sesungguhnya dia mendekati Shinhye bukan hanya semata-mata untuk game konyol itu tapi dia tidak mungkin mengatakannya. “Tunggu sebentar.” Pintanya pada Shinhye lalu dia berbalik kembali memasuki coffee shop itu meninggalkan Shinhye yang hanya bisa mengerdikkan bahu tidak mau ambil pusing.

Shinhye kembali memandang rintik hujan yang masih cukup deras sambil menikmati kopinya. Tak lama kemudian, dia kembali terkejut kecil saat tiba-tiba sebuah payung dibuka disampingnya. Satu tawa tidak percaya terdengar darinya saat ia melihat Yonghwa sudah berdiri disampingnya sambil membawa payung yang tadi dibuka disampingnya. “Payungku tertinggal didalam tadi.” Yonghwa ikut tersenyum melihat wajah cantik Shinhye yang kini tampak takjub.

“Kau benar-benar merencanakan semuanya dengan baik.” Komentar Shinhye terkikik pelan.  Oh astaga, ini gila, bagaimana bisa dia secara otomatis terseyum dan tertawa ketika dia berbicara dengan Yonghwa. Dia tidak pernah menyangka akan mengenal pria seperti Yonghwa. Pria itu benar-benar penuh kejutan. Jujur saja, dia sangat berterimakasih pada Yonghwa, hari ini pria itu datang seperti malaikat penyelamat. Mulai dari menjemputnya dari rumah dan menemaninya berjalan, menemaninya minum kopi paginya lalu sekarang, pria itu tiba-tiba muncul membawakan kopi panas dan payung ditengah dinginnya hujan seperti ini.

“Ini tidak gratis.” Kata Yonghwa, tangan kirinya menarik bahu Shinhye kedalam rangkulannya sedangkan tangan kanannya bertugas membawa payung lalu mereka berjalan dibawah hujan meninggalkan coffee shop itu.

Shinhye sedikit mendongakkan kepalanya menatap wajah Yonghwa yang berjarak sangat dekat dengannya. “Baiklah, bagaimana aku harus membayarnya?” Tanyanya dengan nada bercanda.

“Ikut aku pulang ke apartemenku dan temani aku makan malam.” Sahut Yonghwa mantap sambil melirik Shinhye dari sudut matanya.

Shinhye tampak tertegun sejenak namun tidak lama, dia kembali mengeluarkan tawa kecilnya. “Aku tidak bisa menolaknya bukan?”

“Memang tidak.” Yonghwa menunjukkan senyuman lebar mendengar jawaban Shinhye. Dia merasa bahagia bisa kembali merasakan ini. Berjalan bersama melewati hujan dibawah payung yang sama. Tidak pernah ia berpikir bisa berada dijarak sedekat ini atau bahkan merangkul tubuh ramping itu lagi. Ini seperti mimpi, dia bahkan bisa mencium wangi parfum sporty milik Shinhye yang selalu dia rindukan. Entah sadar atau tidak, dia memberanikan dirinya mencium pucak kepala Shinhye sambil menghirup wangi menenangkan yang menguar dari rambut lembut wanita itu.

Disisi lain, Shinhye menahan nafas terkejut saat tiba-tiba Yonghwa mencium kepalanya dalam-dalam. Dia baru menghembuskan nafasnya ketika Yonghwa menjauhkan bibirnya dari kepalanya. Lalu tangan kekar pria itu semakin erat merangkulnya membuatnya merasa sangat aman dan terlindungi. Shinhye bisa merasakan pipinya memanas menahan jantungnya berdegup tidak biasa. Tangannya bahkan terasa lemas hingga ia pikir kopi ditangannya bisa jatuh kapan saja. Ia menundukkan pandangannya sambil mengulum senyuman bahagia. Meski dia merasa perasaan ini sudah tidak asing lagi, tapi seingatnya ini adalah pertama kali dia menikmati seseorang menemaninya. Berjalan ditengah hujan dibawah payung yang sama dengan seorang pria yang mampu membuatnya merasa nyaman. Menikmati kehangatan rangkulan erat pria itu yang mampu memberinya kehangatan ditengah dingin angin saat itu. Menghirup aroma maskulin menyegarkan dari tubuh Yonghwa yang beradu dengan aroma khas hujan.

Dia pikir…

… dia sudah jatuh cinta.

Dia sudah menjadi seorang loser.

~0~0~0~

Shinhye membungkukkan badannya memberi hormat pada Nyonya Jung yang berdiri didepannya. Dia merasa sedikit gugup setelah Yonghwa mengenalkan mereka. Bagaimana tidak? Ini adalah kali pertama seorang pria mengenalkannya pada ibunya. Ditambah lagi, saat ini Nyonya Jung terus menatapnya dan tersenyum hangat padanya. “Eomma, jangan menatapnya seperti itu.” Ucap Yonghwa dengan nada bercanda begitu menangkap kegugupan diwajah Shinhye.

Senyuman Nyonya Jung semakin melebar. Dia membiarkan Yonghwa mengambil alih Joonhee dari tangannya. “Aku hanya terlalu bahagia.” Ujarnya pada Yonghwa kemudian ia beralih kembali menatap Shinhye. “Anggap saja rumahmu sendiri.” Dibalas dengan anggukan dan senyuman dari Shinhye. “Aku pulang sekarang. Jaga Joonhee baik-baik.” Pesannya pada Yonghwa setelah dia menjaga Joonhee seharian ini. Ditepuknya lengan Yonghwa dan ia kembali tersenyum lembut terutama saat matanya bertemu dengan Shinhye yang berdiri disamping Yonghwa.

“Hati-hati eomma.” Yonghwa mengantarkan Nyonya Jung sampai kepintu depan sambil menggendong Joonhee meninggalkan Shinhye didalam.

“Aku senang melihat kalian bersama lagi.” Kata Nyonya Jung dengan suara berbisik ketika mereka berdiri didepan pintu. Dia memberikan senyuman hangatnya pada Yonghwa sebelum berjalan pergi meninggalkan tempat itu dan setelah ia tidak lagi terlihat, barulah Yonghwa menutup pintu apartemennya.

“Anakmu?” Tanya Shinhye memastikan –meski ia sudah tahu itu—ketika Yonghwa sudah berdiri didepannya.

“Ya.” Sahut Yonghwa mantap. “Dia sangat tampan kan?” Suaranya terdengar bangga saat mengatakan itu, bibirnya juga melengkungkan senyuman cerah sambil memandang Joonhee yang berada digendongannya.

Shinhye mengangguk setuju. “Boleh aku menggendongnya?”

“Tentu saja.” Yonghwa tersenyum melihat reaksi Shinhye ketika ia mengijinkan wanita itu menggendong Joonhee. Wajah Shinhye berbinar cerah dan sangat antusias. Yonghwa memberikan Joonhee pada Shinhye yang menerimanya dengan cekatan. Kehangatan menenangkan menjalari seluruh hatinya melihat Joonhee yang kini tertawa senang ketika tubuh mungilnya sudah berada digendongan nyaman Shinhye seolah anak itu bisa mengenali bahwa Shinhye adalah ibunya.

“Aigoo, kau tertawa? Kau senang berada di gendongan imo?” Shinhye mulai mengajak Joonhee berbicara dengan suaranya yang dibuat seperti anak kecil. Joonhee menggerakkan tubuhnya dengan lincah seolah ingin melompat senang digendongan Shinhye membuat wanita itu tertawa terhibur. “Oh.. Ya Tuhan, Yonghwa-ya, dia sangat mirip denganmu.” Komentarnya penuh semangat.

“Ya, dia memang sangat mirip denganku.” Yonghwa memasang wajah percaya dirinya. “Meski matanya mirip seperti mata ibunya.” Lanjutnya, kali ini dia memandang wajah cantik Shinhye yang tampak fokus memerhatikan Joonhee.

Shinhye menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan Yonghwa namun pandangannya tidak lepas dari Joonhee, wajahnya tampak gemas melihat kelucuan bayi digendongannya itu. “Mma…mma..” Joonhee berceloteh senang sambil bertepuk tangan, matanya yang berair menatap polos pada Shinhye.

“Apa kau baru saja mengatakan ‘eomma’? Kau memanggilku ‘eomma’?” Shinhye terlihat terkejut dalam arti baik mendengar celotehan Joonhee. Entah kenapa dia sangat senang Joonhee memanggilnya eomma. Mungkin karena usianya sudah matang untuk dipanggil ibu atau mungkin karena didalam hatinya, dia sudah memiliki keinginan untuk menikah dan melahirkan anaknya sendiri. “Ya, kau tidak suka memanggilku ‘imo’ dan ingin memanggilku ‘eomma’?”

Yonghwa menelan bulat-bulat rasa sesak yang serasa menyumbat tenggorokannya melihat interaksi Joonee dan Shinhye. Pria itu memasang poker face-nya dan memperlihatkan sebuah senyuman senang miliknya. “Dia sepertinya menginginkanmu menjadi ibunya.” Guraunya, sengaja ingin melihat bagaimana reaksi Shinhye.

Gurat terkejut terpampang diwajah Shinhye, sepasang mata bulat itu melebar kearah Yonghwa. “Apa?” Seru Shinhye lantas ia terkekeh kecil.

“Bercanda.” Ujar Yonghwa ikut tertawa bersama Shinhye. “Tapi aku harap kau tidak keberatan dia memanggilmu ‘eomma’.” Tambahnya dengan suara penuh harap.

“Tidak sama sekali.” Balas Shinhye tanpa ragu. Kemudian ia kembali memandang Joonhee. Matanya tampak berbinar menatap wajah menggemaskan Joonhee, bayi itu terus berceloteh tak jelas sambil sesekali tertawa menggemaskan. Oh dear, bayi itu benar-benar lucu dan tampaknya Shinhye sudah jatuh hati pada bayi itu.

* * *

“Ya, kemari… pelan-pelan.. kau pasti bisa.”

Yonghwa mengelap tangannya yang basah setelah mencuci piring terakhir yang tadi mereka pakai untuk makan malam. Ya, malam ini, Shinhye untuk pertama kalinya –sejak mereka berpisah—menemaninya makan malam. Tapi kali ini, bukan Shinhye yang memasak untuknya melainkan Yonghwa yang dengan senang hati memasak untuk mereka sementara Shinhye menjaga Joonhee. Dia bahagia melihat kedekatan Joonhee dan Shinhye meski mereka baru saja bertemu. Baik Shinhye maupun Joonhee terlihat sudah menyatu satu sama lain seolah mereka sudah kenal lama dan tidak mau terpisahkan. Mungkin ini yang disebut dengan ikatan antara ibu dan anak yang tidak terpisahkan. Meski Shinhye tidak tahu Joonhee putranya dan meski Joonhee tidak mengenali Shinhye adalah ibunya, tapi mereka terlihat sangat nyaman dan bahagia bersama.

Yonghwa lalu berjalan meninggalkan dapur menuju keasal suara. Dia berdiri mematung saat mendapati Shinhye duduk dilantai dengan tangan terbuka lebar menunggu Joonhee yang berjalan tertatih kearahnya lalu menyambut anak itu dengan pelukan ketika anak itu berhasil menjangkaunya. Diperhatikannya cara Shinhye menepuk lembut punggung Joonhee dalam pelukannya lalu mendudukkan anak itu dipangkuannya dan menghujani wajah Joonhee dengan ciuman membuat anak itu tertawa geli. Dear, itu adalah pemandangan terindah yang pernah dia lihat. Melihat Shinhye tertawa bersama Joonhee adalah sebuah mimpi indah yang kini menjadi nyata.

Yonghwa menipiskan bibirnya merasakan berbagai emosi bercampur dihatinya. Perasaan dimana kau merasa sedih dan bahagia secara bersamaan. Kemudian dia mengeluarkan tawa kering ketika melihat Shinhye dengan jailnya menarik botol susu dari Joonhee yang tampak haus membuat bibir mungil anak itu tertarik kebawah menahan desakan hebat untuk menangis. Shinhye memberikan botol susu itu ketangan Joonhee lagi namun ketika anak itu akan meminumnya, dia dengan jail kembali menariknya menjauh membuat tangisan yang sedari tadi ditahan Joonhee akhirnya meledak.

Shinhye tertawa puas setelah berhasil membuat Joonhee menangis karenanya. “Baiklah, baiklah, maafkan aku.” Katanya masih dengan tawanya. Dia membaringkan Joonhee dipangkuannya dengan nyaman lalu memberikan Joonhee botol susunya dan meminumnya dengan tenang. “Omo, kau sangat menggemaskan. Apa yang harus kulakukan?” Ujarnya gemas, matanya memandangi Joonhee, sementara tangannya mengusap airmata dipipi Joonhee. Dia terlihat sangat menyayangi Joonhee seperti seorang ibu yang menyayangi anaknya. Baiklah, Joonhee memang anaknya tapi dia tidak tahu itu.

Yonghwa menarik nafas panjang lantas mengeluarkannya dari mulutya. Berdehem pelan, dia menarik kedua sudut bibirnya memasang wajah ceria seolah tidak ada masalah yang dia sembunyikan lalu dia berjalan menghampiri Shinhye dan Joonhee. “Aku mendengar putraku menangis.” Ia mengambil posisi duduk disamping Shinhye.

“Aku membuatnya menangis.” Shinhye menunjukkan cengiran lucu miliknya. “Dan sekarang dia terlihat mulai mengantuk.” Lanjutnya ketika melihat mata Joonhee mulai terpejam, seakan merasa nyaman berbaring diatas pangkuan Shinhye sambil meminum susunya. “Bagaimana dengan ibunya? Apa dia sering datang menengok Joonhee?” Tanyanya begitu saja, lidahnya bergerak cepat melontarkan pertanyaan sensitif itu.

“Tidak.” Balas Yonghwa setelah beberapa saat. Shinhye sempat terkejut mendengar jawaban Yonghwa. Sempat tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Begini, meski tidak tinggal bersama dan menikah tapi dia pikir, ibu Joonhee pasti akan datang menjenguk anaknya bukan?

Shinhye menatap mata Yonghwa lurus-lurus namun dia tidak menemukan kebohongan disana, pria itu serius. “Kenapa tidak?”

Yonghwa tersenyum pahit mendengarnya. “Dia sudah pergi.”

“Ah?” Shinhye tertegun sejenak ketika menangkap gurat kesedihan diwajah tampan yang kini tampak muram itu. “Kemana?” Tanyanya lagi. “Tidak, tidak. Jangan dijawab.” Tambahnya cepat-cepat saat ia merasa tidak enak melihat reaksi tidak baik dari Yonghwa. Dia bahkan nyaris mengutuk dirinya sendiri karena membuat suasana menjadi sedih seperti ini. “Aku bisa membantumu.”

“Hmm?” Yonghwa memandang Shinhye dengan raut tanya.

Satu senyuman lembut terlukis diwajah Shinhye. “Jika kau mengijinkan, aku bisa membantumu untuk merawat dan menjaga Joonhee.”

Saat itu, Yonghwa tidak tahu harus berbicara apa lagi. Dia bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan. Yang bisa dia lakukan membuang nafas dari mulutnya lalu tersenyum samar sambil mengangguk pada Shinhye. Wanita itu menatapnya penuh perhatian kemudian beralih menatap Joonhee. Yonghwa benar-benar merasa sesuatu menamparnya dengan keras melihat apa yang terjadi didepannya, dia hanya bisa membisu memandang haru Shinhye yang kini menggumamkan sebuah lullaby untuk Joonhee sambil menepuk pelan pantat anak –yang berbaring nyaman dipangkuannya itu. Tak lama mata Joonhee sudah terpejam erat membuat Shinhye tersenyum senang, ini adalah pertama kalinya dia menidurkan seorang bayi. Satu tangannya perlahan melepaskan dot susu dari bibir mungil Joonhee yang sudah tertidur pulas. Matanya berbinar saat ia menangkap Joonhee tersenyum ditengah tidurnya, terkadang anak itu bahkan mengeluarkan kekehan kecil seorang bayi.

“Dia selalu tersenyum saat tidur.” Kata Yonghwa dengan suara berbisik.

“Aku pernah mendengar bahwa bayi tersenyum dalam tidur karena mereka mendengarkan bisikan malaikat yang menjaga mereka. Joonhee pasti juga begitu.” Balas Shinhye yang tampak sangat mengagumi Joonhee kemudian dia menolehkan kepalanya kearah Yonghwa. “Dimana aku bisa menidurkannya?”

Yonghwa tersenyum tipis lalu membantu Shinhye berdiri. Wanita itu menolak saat dia meminta Joonhee darinya jadi Yonghwa hanya mengantarnya kekamar dan membiarkannya menidurkan Joonhee di ranjang bayi. Dia benar-benar merasa tersentuh melihat ketulusan Shinhye menjaga Joonhee. Wanita itu juga tampak ahli dalam merawat bayi seolah-olah dia sudah berpengalaman.

 ~0~0~0~

Setelah menidurkan Joonhee, mereka duduk di sofa untuk menonton acara malam di televisi. Tapi dari pada menonton televisi didepannya, Yonghwa lebih tertarik untuk memandang lekat sisi wajah Shinhye yang tampak fokus menonton acara favoritnya. “Shin…” Panggil Yonghwa dengan suara lembutnya yang hanya dijawab dengan sebuah gumaman dari Shinhye. “Apa kau pernah menyesali sesuatu?” Tanyanya. Ya, dia tahu pernyataan yang dia lontar akan membawa mereka pada pembicaraan berat. Tapi dia tidak bisa menahannya, dia ingin memastikan apakah Shinhye benar-benar sudah tidak memerdulikan memorinya yang hilang itu, sebab Yonghwa adalah bagian memori yang dilupakan Shinhye itu.

Shinhye mengalihkan pandangannya dari televisi pada Yonghwa saat mendengar pertanyaan cukup berat itu. Dia bergumam pelan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. “Menyesal?” Shinhye mengulang pertanyaan Yonghwa. “Sebenarnya, aku tidak pernah menyesali apa yang sudah kulakukan. Tapi berpikir lagi, kupikir aku hanya menyesali hubungan yang membuatku takut.” Katanya, lalu dia mengerutkan hidungnya. “Sedikit membingungkan bukan?” Tanyanya sambil tertawa kecil.

“Hubungan yang membuatmu takut?”

“Ya.”

“Hubungan yang seperti apa?”

 Shinhye sedikit memiringkan kepalanya lalu berdesis pelan memikirkan rangkaian kata yang pas untuk menjelaskan pada Yonghwa. “Kau tahu, aku kehilangan ingatanku. Dan sering kali, setiap aku tidur, sesuatu datang kedalam tidurku. Suatu kejadian yang terlalu nyata untuk dikatakan mimpi. Ya, aku sangat yakin itu bukan hanya mimpi. Aku percaya, itu pernah terjadi dalam hidupku.”

Yonghwa menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering mendengar gambaran yang diberikan Shinhye. Ia tiba-tiba merasa gugup. Takut jika yang dimaksud Shinhye adalah kejadian pertengkaran mereka. “Memangnya, kejadian seperti apa yang masuk dalam mimpimu itu?”

“Banyak.” Sahut Shinhye cepat. “Tapi hampir semuanya menyakitkan.” Lanjutnya dan entah mengapa Yonghwa merasa begitu gugup, hingga ia harus menyembunyikan tangannya yang mulai gemetar pelan. “Setiap kelebatan kejadian itu memasuki mimpiku, aku selalu melihat diriku bersama seorang pria. Aku merasa sangat mencintai pria itu dan aku juga bisa merasakan pria itu begitu mencintaiku. Awalnya, kami selalu bahagia tapi kemudian kami selalu berakhir dengan pertengkaran. Dan pria itu, selalu berakhir meninggalkanku sendirian dalam perasaan hancur dan sepi untuk sahabatnya.” Suara Shinhye terdengar mengambang, jelas sekali dia kembali hanyut dalam pikirannya, mengingat-ingat potongan peristiwa yang kerap kali muncul dalam mimpinya dan terkadang berkelebat dikepalanya.

Yonghwa menelan paksa ludahnya menimbulkan rasa sakit ditenggorokannya yang tercekat. “Apa kau mengenal siapa pria itu?” Tanyanya lirih dengan suara seraknya.

Kerutan samar, terlihat didahi Shinhye. Wanita itu tampak berusaha menggali memorinya lalu perlahan ia menggeleng samar. “Tidak.” Jawabnya. “Apa yang aku lihat hanyalah bayangan gelap.” Shinhye kemudian tertawa pelan. “Tapi itu tidak masalah karena aku pikir, jika aku bisa melihat wajahnya dengan jelas, mungkin aku akan membencinya.” Lanjutnya sukses membuat hati Yonghwa serasa ditusuk seribu jarum. Sakit sekali.

“Kenapa?” Tanyanya parau, namun Shinhye yang masih bergulat dengan pecahan peristiwa itu tidak menyadari sarat luka dimata Yonghwa.

“Karena dia selalu menyakitiku.” Sahutnya dengan nada tenangnya seperti sebuah pedang tajam yang menghunus tepat kedalam jantung Yonghwa dan mengoyaknya tanpa ampun. “Ya, aku tahu aku tidak mengingat jelas tapi meskipun hanya datang dalam mimpiku, aku bisa merasakan sakit yang nyata saat dia mengabaikanku dan meninggalkanku. Lalu ketika aku bangun, aku menemukan mataku basah. Aku bisa merasa sesak dan sedih yang nyata hingga membuat suasana hatiku buruk seharian.” Jeda sejenak, Shinhye mendengus pelan. “Sebenarnya, bukan hanya masuk dalam mimpiku, tapi terkadang potongan memoriku itu muncul saat aku dalam keadaan terbangun. Mereka berkelebatan seperti kepingan film didepan mataku. Dan mirisnya, baik saat tidur atau terbangun, potongan memoriku itu sama-sama membuatku terluka.” Shinhye menegakkan tubuhnya lantas menghirup nafas dalam-dalam. “Jadi seperti yang pernah kukatakan padamu, mungkin aku memang ditakdirkan untuk kehilangan ingatanku sehingga aku tidak perlu merasakan sakit hati itu lagi.”

Yonghwa mengerjapkan matanya yang terasa pedih, berusaha menyembunyikan pelupuknya yang mulai basah. Menyadari bahwa dia adalah pria seburuk itu. Diam-diam dia mengutuk dirinya sendiri sudah dengan bodohnya menyakiti Shinhye sedalam itu. “Jadi, apa hubunganmu dengan pria dalam potongan memorimu itu yang kau sebut dengan ‘hubungan yang membuatmu takut’ dan yang kau sesali tadi?” Tanya Yonghwa sangat berhati-hati lalu dia segera menyesal melontarkan pertanyaan yang dia sudah tahu jelas jawabannya itu dan dia tidak siap mendengar jawabannya.

“Begitulah.” Sahut Shinhye santai, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis seolah tidak ingin membahas masalah itu lebih dalam. “Lalu bagaimana denganmu?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Yonghwa menghela panjang, membiarkan dirinya masuk kedalam kenangannya bersama Shinhye dulu. Kenangan yang membuatnya tersedak dalam rasa pahit hingga sekarang. “Aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar. Dan sekarang, aku hidup dengan konsekuensinya. Aku menyesal, aku benar-benar menyesalinya. Dan aku sungguh memintamaaf.”

Shinhye termenung saat ia menangkap gurat kesedihan dan penyesalan yang begitu dalam, terpampang jelas di wajah Yonghwa. Dia bisa merasakan kesungguhan dari suara pecah pria itu. “Apa kau menyesal karena membuat kekasihmu hamil dan memiliki anak diluar pernikahan?” Terkanya.

Yonghwa mengerdipkan matanya menyadari apa yang ada dalam pikiran Shinhye, lalu ia tertawa pelan. “Bagaimana mungkin aku menyesalinya kalau nyatanya, memiliki anakku dari wanita yang paling kucintai adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.” Sahutnya dan Shinhye bisa melihat kejujuran saat Yonghwa mengatakan itu. “Satu-satunya penyesalan terbesar dalam hidupku adalah aku membiarkan cintaku pergi.” Lanjutnya lirih.

Saat itu, Shinhye tidak tahu apa yang dia rasakan. Dia merasa terpukul melihat Yonghwa tampak masih sangat terpuruk dalam masa lalunya. Tidak pernah dia menyangka akan melihat raut terluka dari wajah tampan yang selalu tampak ceria didepannya itu. Atau mungkin, pria itu memang selalu merasa sedih namun berpura-pura bahagia saat berada didepannya. Entahlah, tapi yang pasti aura pria itu kini terlihat sangat muram hingga mampu menarik siapapun yang melihatnya masuk kedalam kesedihannya. “Kalau boleh tahu, kenapa kalian berpisah? Sebab, aku bisa merasakan dengan jelas bahwa kau masih sangat mencintainya.” Tanyanya hati-hati.

Yonghwa menggeleng pelan mendengarnya. “Aku tidak tahu. Aku juga tidak pernah menyangka kami akan berpisah. Seingatku, kami sangat bahagia bersama. Dulu yang aku tahu, dia bahagia hanya dengan bersamaku. Tapi aku salah, tanpa aku sadari, aku selalu menyakitinya.” Yonghwa menundukkan kepalanya menyembunyikan matanya yang terasa panas dan basah. “Kami berdua sama-sama keras kepala. Sampai semuanya sudah terlambat, dia meninggalkanku karena kesalahanku. Aku pikir, jika aku selalu mengatakan padanya bahwa aku mencintainya akan membuatnya bertahan disisiku, tapi ternyata itu tidak cukup untuknya. Dia pergi karena aku tidak memperlakukannya dengan baik.”

Shinhye menipiskan bibirnya mendengar cerita Yonghwa lalu ia berujar pelan. “Kau tahu, cinta adalah sebuah kata kerja, jadi tanpa aksi, itu hanyalah sebuah kata.”

“Kau benar.” Yonghwa mengangguk menyetujui ucapan Shinhye kemudian dia mengeluarkan kekehan miris sebelum kembali bersuara. “Dan bodohnya, aku baru menyadari itu setelah dia pergi.” Ia mengangkat kepalanya, bola matanya yang tampak berair bergerak melihat setiap sudut tempat itu. Tempat yang penuh dengan kenangannya bersama Shinhye, dimana mereka pernah tinggal bersama dengan bahagia. Bibirnya yang tampak mulai bergetar itu terbuka samar berusaha untuk tetap bernafas saat dadanya terasa sangat sesak. “Tapi jujur saja, sampai sekarang aku penasaran. Aku selalu bertanya-tanya, apakah dia benar-benar mencintaiku sehingga dia bisa dengan mudah meninggalkanku? Jika iya, lalu kenapa dia tidak memilih bertahan bersamaku? Tidak bisakah dia bersabar untuk cintanya?”

Shinhye terdiam dengan senyuman simpati miliknya. Ia memerhatikan sisi wajah Yonghwa yang terlihat sangat muram. Matanya merah dan basah sementara bibirnya terlihat bergetar. Dia bahkan ikut merasa sesak didadanya melihat Yonghwa terluka seperti ini. “Boleh aku mengatakan sesuatu?” Tanyanya berhasil membuat Yonghwa mengalihkan perhatian padanya. Pandangannya mengunci mata yang kini menunjukkan sorot kesedihan dan penyesalan yang amat dalam itu. “Aku percaya dia juga mencintaimu. Sebab, jika aku menjadi dia, aku juga akan pergi. Jika aku menjadi dia, maka tidak perduli sebesar apapun aku mencitaimu tapi aku pasti tahu dimana saatnya aku harus menyerah.” Shinhye meraih tangan Yonghwa kepangkuannya dan menggenggamnya erat ketika melihat airmata pria itu menetes. “Begini, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Tapi orang memang harus tahu perbedaan antara bersabar dan membuang waktu. Jika orang tidak menyadari seberapa berharganya diriku, itu berarti mereka tidak layak untukku. Aku tidak akan membiarkan orang yang tidak menghargai cintaku membuatku terjatuh.” Lanjutnya dengan suara pelan berusaha untuk tidak memperdalam luka Yonghwa namun tanpa ia sadari, apa yang dia ucapkan itu justru membuat luka Yonghwa semakin meradang. Terbukti saat Yonghwa terlihat kesulihat mengatur nafasnya dan kembali menundukkan wajahnya yang memerah ketika airmatanya menetes lagi.

Yonghwa menggeleng pelan menyadari bahwa ia sudah membiarkan dirinya terlihat lemah didepan Shinhe. Bahkan meski sudah kehilangan ingatannya, wanita itu masih memiliki penilaian yang sama terhadapnya. Yonghwa menjilat bibirnya yang terasa bengkak akibat menahan tangisnya. “Aku ini pria yang sangat bodohkan? Aku membiarkan wanita yang hebat itu pergi. Dan sekarang, aku seperti orang tolol yang mengingat segalah hal tentangnya.” Shinhye tidak menjawab, dia hanya bergerak menarik Yonghwa untuk bersandar dalam pelukan hangatnya. Dia memilih untuk diam dan menjadi pendengar yang baik. “Meskipun dia tidak menyukai pekerjaanku menjadi pembalap, tapi tanpa dia ketahui, justru dialah penyemangatku untuk selalu menjadi pembalap hebat. Dia adalah sosok yang sangat mengagumkan.” Yonghwa menyembunyikan kepalanya ditengkuk Shinhye dan membiarkan airmatanya jatuh disana. Kedua tangannya memeluk erat Shinhye berusaha memberitahu dalam diam bahwa wanita hebat yang dia ceritakan adalah Shinhye sendiri.

Shinhye tersenyum tipis mendengarnya. Ada perasaan tidak enak hinggap dihatinya melihat betapa Yonghwa memuji wanita itu dengan sangat tinggi seolah dialah wanita terbaik didunia ini. Dia penasaran siapa wanita yang membuat Yonghwa jatuh cinta sedalam ini. “Apa kau masih mengharapkannya?” Bisiknya ragu, takut jika jawaban yang dia dengar akan mematahkan hatinya.

Ia merasakan Yonghwa menggeleng lemah dipelukannya. “Aku tidak ingin berharap banyak sejak saat itu. Sebab aku sudah belajar dari kejadian itu bahwa setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan.”

Shinhye mengusap pelan punggung berotot Yonghwa. “Ya, kenyataannya memang tidak segala hal akan berjalan seperti yang kau harapkan dalam hidupmu, itulah kenapa kau harus membuang segala harapan dan biarkan semuanya berjalan dalam hidupmu.” Ujar Shinhye dan entah mengapa ada sisi egois dalam dirinya yang menginginkan Yonghwa untuk melepaskan masa lalunya itu sepenuhnya dan membiarkan dirinya masuk menggantikan posisi wanita beruntung itu.

Yonghwa tertawa kecil mendengar pendapat Shinhye yang terkesan menganggap enteng masalah itu. Dia menghapus airmatanya lantas menjauhkan tubuhnya dari pelukan Shinhye. “Kau memang tidak pernah menganggap serius suatu masalah bukan? Tidak heran kau selalu terlihat bahagia seolah tidak memiliki masalah apapun.”

Mengerdik ringan, Shinhye tidak menyangkal ucapan Yonghwa. “Kau lihat, aku selalu merasa bahagia, dan kau tahu kenapa? Itu karena aku tidak mengharapkan apapun dari siapapun.” Katanya. “Aku tahu harapan itu selalu menyakitkan dan aku selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa hidup ini singkat. Inilah hidupku, aku hanya perlu merasakan dan menjalaninya. Aku ingin makan-makanan enak, tidur nyenyak, berkeliling dan melingkupi diriku dengan orang-orang yang kucintai. Tujuanku adalah hidup sederhana apapun caranya.” Jelasnya panjang lebar.

“Kau memang sangat berbeda.”

Shinhye tersenyum mendengarnya. “Aku harap kau juga begitu.” Tangannya terangkat mengusap pipi Yonghwa yang memperlihatkan bekas airmata. “Apa kau tidak lelah untuk selalu hidup dalam bayangan pahit masalalumu?”

Yonghwa mengangguk. “Aku sangat lelah.” Jawabnya. “Sejak dia pergi, aku tidak pernah benar-benar beristirahat. Suara dingin dan wajah kecewanya padaku terus saja menghantuiku.”

“Kau ingin beristirahat dengan baik?”

“Hmmm…”

Shinhye menarik tubuh Yonghwa dan memposisikan kepala pria itu diatas pangkuannya, membiarkan pahanya menjadi bantal untuk pria itu. Ia ikut tersenyum saat melihat bibir Yonghwa melengkungkan senyuman manis menerima perlakuannya. Kaki Yonghwa sudah diluruskan diatas sofa sementara kepalanya beristirahat dengan nyaman dipangkuan Shinhye. “Sekarang kau bisa beristirahat.”

“Aku tidak bisa hidup dengan baik setelah dia pergi. Saat aku akan tidur, aku selalu memikirkan dia dan saat bangun, aku juga teringat dia. Walaupun aku selalu mengingatkan diriku untuk tidak mengharapkannya kembali, tapi hatiku selalu memberontak, aku tetap meginginkannya kembali.” Yonghwa memejamkan matanya ketika jemari Shinhye bergerak mengusap wajahnya, menelusuri setiap lekuk wajahnya.

“Mulai sekarang, jangan biarkan harimu menjadi buruk karena masalalumu. Jangan memenjarakan dirimu dalam kegelapan untuk mengharapkan hal yang mungkin tidak akan terjadi. Akhiri segala hal yang membuatmu hancur dan memulai yang baru.”

Yonghwa membuka kembali matanya mendengar apa yang dikatakan Shinhye. Dilihatnya kedalam mata iris coklat Shinhye yang menatap lembut padanya. Tatapan tulus dan penuh perhatian yang dia rindukan hingga saat ini. “Memulai yang baru?” Tanyanya memastikan bahwa ia tak salah dengar, yang dijawab dengan sebuah anggukan dari Shinhye. “Seperti apa?” Tanyanya lagi.

Dan tanpa dia duga, daripada menjawabnya, Shinhye justru lebih memilih untuk menurunkan kepala mendekat kewajahnya yang berada dipangkuan wanita itu hingga bibir mereka bertemu. Jantung Yonghwa terasa berhenti berdetak ketika ia merasakan bibir lembut Shinhye mendarat dibibirnya. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, akhirnya dia merasakan kembali sebuah ciuman lembut dari Shinhye. Dadanya bergemuruh hebat dan airmatanya menetes merasakan kebahagiaan berlebihan didalam dirinya. Yonghwa tidak ingin melewatkan saat ini jadi dia segera memejamkan matanya. Tangannya terangkat menekan kepala Shinhye untuk memperdalam ciuman itu. Bibirnya bergerak membalas ciuman Shinhye, mengulum lembut bibir itu penuh perasaan. Oh Tuhan, dia sangat merindukan dan mencintai wanita ini. Dia tidak mau melepaskannya lagi.

Shinhye tersenyum saat Yonghwa membalas ciumannya. Dia harap, Yonghwa mengerti bahwa apa yang dia katakan adalah sungguh-sungguh. Dia ingin Yonghwa bangkit dan melupakan masa lalu dan memulai cerita baru bersamanya. Bukan hanya sekedar untuk sebuah ‘game’. Beberapa saat kemudian, Shinhye melepaskan ciumannya dan menjauhkan wajahnya dari Yonghwa. Dia memejamkan matanya, menghirup udara dalam-dalam lalu tertawa kecil. Menyadari keberaniannya memulai ciuman intens itu. Kemudian dia menundukkan kepalanya pada Yonghwa yang kini tersenyum manis dengan tatapan dalam yang ditujukan untuknya.

“Sepertinya, aku akan benar-benar menjadi loser.” Yonghwa tertawa kecil merobohkan kecanggungan yang sempat menyelimuti mereka.

Shinhye terkekeh kecil. Jemarinya bergerak menyisir lembut rambut Yonghwa. “Sekarang kau bisa menutup matamu.” Ucapnya yang segera dituruti oleh Yonghwa. Pria itu dengan patuh menutup matanya. “Hapuslah segala kenangan buruk yang menjadi bebanmu. Kenangan yang memenjarakanmu dalam rasa sakit. Dan mengertilah bahwa kau masih muda. Dan dunia ini tidak akan berhenti. Dan bagaimanapun juga, semuanya akan baik-baik saja. Hati dan lukamu pasti akan sembuh. Dan kebahagiaanmu akan selalu kembali.” Shinhye menurunkan tangannya dari rambut ke wajah Yonghwa, diusapnya lembut pipi pria yang terpejam dipangkuannya itu. Dia sedikit menundukkan kepalanya lalu berbisik pelan. “Ingatlah, waktu buruk tidak akan bertahan selamannya. Dan ingatlah juga bahwa kau dicintai sayang.” Setelah mengatakan itu, dia mengecup kening Yonghwa dalam-dalam membuat dahi Yonghwa berkerut seolah pria itu merekam segala hal manis yang dia katakan dan ingin mengabadikan perasan hangat ketika dia mencium keningnya penuh kasih.

Yonghwa mengangkat tangannya untuk menahan tangan Shinhye yang beristirahat dipipinya. Digenggamnya erat tangan lembut yang dia rindukan itu, merasakan tangan dingin itu membelai pipinya. Matanya masih terpejam erat namun airmatanya masih berhasil menetes lagi. Dia merasa tersentuh. Dia terlalu bahagia hingga rasanya hatinya tidak mampu membendung kebahagiaan itu. Mendengar ucapan tulus penuh cinta Shinhye, bisa tidur dipangkuan itu lagi. Menerima ciuman lembut penuh perasaan dari wanita itu dan merasakan belaian yang dia rindukan itu lagi. Dia tidak menyangka semua itu kembali terjadi hari ini.

“Bahkan jika kelak pada akhirnya kita tidak bisa bersama, aku bahagia sebab kau pernah menjadi bagian dari hidupku.” Pikir Yonghwa sambil tersenyum dengan mata terpejam. Dia bisa merasakan Shinhye masih menatap lekat wajahnya. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, dia bisa benar-benar beristirahat. Dia bisa tidur dengan mimpi indah.

~0~0~0~

Kening Yonghwa berkerut saat samar-samar telinganya mendengarkan seseorang sedang menyanyikan nada lembut. Dia pikir, dia sedang bermimpi namun semakin lama, suara itu terdengar semakin jelas. Ia melenguh pelan dan perlahan membuka matanya saat menyadari bahwa suara itu tidak berasal dari mimpinya. Ia mengedipkan matanya perlahan mengumpulkan kesadarannya lantas mengambil posisi duduk. Matanya menyipit saat tidak menemukan siapapun disana, hanya selimut yang tadi menyelimuti tubuhnya. “Shin?” Panggilnya ketika ia ingat bahwa semalam Shinhye membiarkannya tidur pulas dipangkuannya. Dan pastinya, Shinhye juga yang menyelimuti tubuhnya tapi dimana wanita itu sekarang?

Yonghwa mendengus pelan, jemarinya bergerak menyisir rambutnya yang kusut. Badannya terasa lebih segar, setelah dia benar-benar tidur dengan baik. Dia bahkan tidak mendengar tangisan Joonhee. Yonghwa beranjak dari sofa lalu menyeret kakinya menuju sumber suara, mencari Shinhye. Langkahnya terhenti didepan pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat. Tangannya mendorong pelan pintu itu agar terbuka semakin lebar. Ia memasuki kamarnya  dan segera menahan nafas melihat apa yang ada didepannya. Shinhye berdiri dibalkon kamarnya, menatap pemandangan luar apartemennya. Wajahnya tampak bersinar bermandikan sinar matahari, rambutnya menari lembut tertiup angin dan yang lebih membuatnya terpukau adalah wanita itu menimang Joonhee ditangannya sambil menyanyikan lagu lullaby dengan pelan.

Ini seperti mimpi. Tidak pernah ia berpikir akan melihat malaikat cantiknya menimang malaikat kecilnya seperti itu. Shinhye benar-benar terlihat sangat mencintai Joonhee. Pria itu melengkungkan senyuman bahagianya namun tak lama, senyuman itu menguap saat Shinhye –yang berdiri dengan posisi memunggunginya—itu sudah menoleh kebalik bahu menatapnya dengan mata memicing. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Shinhye sambil menepuk pelan pantat Joonhee yang tampak tenang dilengannya.

Yonghwa tersenyum meringis. “Mencarimu.” Diperhatikannya Shinhye yang tidak menjawab ucapannya melainkan hanya tertawa kecil. Matanya mengamati gerakan Shinhye yang berbalik menghadapnya lalu berjalan menghampirinya sambil menggendong Joonhee ditangannya. Bibir Yonghwa secara otomatis tersenyum saat mendapati Joonhee yang tidur ditangan Shinhye sudah memakai baju bersih dan wajahnya ditaburi bedak. “Dia sudah mandi?”

“Ya. Aku sudah memandikannya.” Sahut Shinhye sambil tersenyum bangga. “Kau pasti tidur dengan sangat nyenyak sampai tidak mendengar Joonhee menangis.” Ujarnya sambil berjalan melewati Yonghwa keluar dari kamar.

“Ya. Terimakasih padamu.” Katanya lalu dia berjalan mengekor dibelakang Shinhye. “Kau bisa menidurkannya diranjangnya.”

“Tidak. Aku ingin menggendongnya.” Tolak Shinhye tanpa menghentikan langkahnya. Dia membawa bayi itu keruang makan.

Lagi-lagi Yonghwa dibuat tercengang saat melihat makanan sudah disiapkan diatas meja makan. Ia mengerjap tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kau memasaknya?” Tanyanya, menaikkan pandangannya pada Shinhye yang lagi-lagi hanya menjawabnya dengan kerdikkan bahu.

“Duduklah.” Pintanya yang segera dituruti Yonghwa. Dia kemudian berjalan ke dapur tanpa berniat menurunkan Joonhee dari gendongannya. Tak lama kemudian dia kembali menghampiri Yonghwa dengan satu tangan membawa secangkir kopi. “Kopi pagimu.” Katanya sambil meletakkan kopi itu didepan Yonghwa.

“Kopimu?”

“Aku sudah meminumnya tadi sebelum memasak dan memandikan Joonhee.” Sahut Shinhye, ia menarik kursi disamping Yonghwa lalu mengambil posisi duduk. “Kenapa melihatku seperti itu?” Ia tertawa kecil menerima tatapan intens dari Yonghwa, seolah pria itu melihat dunianya didalam mata cantik Shinhye. “Makanlah.” Shinhye menyunggingkan senyuman terbaiknya.

Yonghwa mengangguk, ia menikmati sarapannya dengan senyuman bahagia yang tak sedetikpun terhapus dari wajahnya. Ia masih terhanyut dalam perasaan bahagia ini. Saat Shinhye kembali memberikan perhatian padanya lagi dan memperlakukannya dengan sangat baik. Dia tidak ingin momen seperti ini berakhir. “Tunggu.” Yonghwa menatap Shinhye dengan kedua alis terangkat. “Ada saus dibibirmu.” Ucap Shinhye sambil mengangkat satu tangannya mengusap noda saus dibibir Yonghwa. “Ah!” Pekiknya ketika Yonghwa menggigit jarinya saat mengusap bibir pria itu. “Yah!” Dipukulnya lengan Yonghwa –yang kini tertawa—dengan keras lalu ia ikut tertawa bersama pria itu. Tapi hal itu membuat Joonhee yang tidur ditangannya menangis sebab suara mereka mengganggu tidurnya. “Ssssh….maafkan eomma, tidurlah lagi.” Bisik Shinhye lirih setelah melototi Yonghwa sebentar kemudian menepuk-nepuk pantat Joonhee. Yonghwa sempat terkejut mendengar Shinhye menyebut dirinya sendiri ‘eomma’ untuk Joonhee namun kemudian ia tersenyum senang dan tanpa ia ketahui, matanya kembali berair. Dia menundukkan wajahnya, menyembunyikan airmata harunya dan kembali menikmati sarapan buatan Shinhye sambil menahan isakan kecilnya. Masakan Shinhye selalu enak, namun kali ini, masakan itu terasa lebih nikmat dan spesial karena Shinhye duduk disampingnya, menemaninya makan sambil menimang Joonhee ditangannya. Apakah semuanya masih bisa tetap seindah ini jika nanti Shinhye mengingatnya lagi? Dia tidak tahu. Yang dia tahu, dia hanya ingin menikmati saat indah ini.

~0~0~0~

Yonghwa berdiri didepan counter bar menikmati cocktail-nya. Bibirnya melengkungkan senyuman bahagia melihat Shinhye menari ditengah lantai dansa seiring dentuman musik DJ di dalam bar itu. Wanita itu terlihat paling bersinar diantara banyak orang disana. Rambutnya yang tergerai ikut menari bersamanya, membuat siapapun yang melihat tidak ingin mengalihkan perhatian darinya. Satu kekehan pelan keluar dari mulut Yonghwa saat Shinhye mengerdipkan mata padanya ditengah gerakan tariannya. Setelah beberapa saat, Shinhye akhirnya berjalan meninggalkan lantai dansa menghampiri Yonghwa.

“Berikan aku scotch whiskey.” Pinta Shinhye pada bartender yang berdiri di bar station. Kemudian Shinhye mengalihkan pandangannya pada Yonghwa yang berdiri disampingnya. Seulas senyuman geli tersemat dibibirnya mendapati Yonghwa yang terus menatap lekat padanya. “Kenapa?” Tanyanya sembari terkekeh geli, ia membiarkan tangan Yonghwa bergerak merapikan rambutnya yang tergerai dan menyematkannya dibalik telinganya.

“Cantik.” Puji Yonghwa tanpa diduga membuat tawa Shinhye lolos dari bibirnya.

“Terimakasih.” Ucap Shinhye pada bartender didepannya saat ia menerima whiskey pesanannya lalu ia kembali menoleh pada Yonghwa. “Boleh aku bertanya sesuatu?” Tanyanya sambil meneguk whiskey ditangannya.

“Tanyakan saja.”

“Sejak kita berkenalan, kau selalu meluangkan waktumu untukku. Apa kau tidak memiliki kesibukan?” Tanyanya sukses membuat senyuman yang tadi mengembang diwajah Yonghwa menguap. “Begini, kau itukan seorang pembalap terkenal jadi tentu saja kau memiliki kesibukan.”

Bibir Yonghwa melengkungkan senyuman masam. Sekali lagi, ucapan Shinhye kembali menjadi tamparan baginya. Kalau saja Shinhye ingat bagaimana Yonghwa dulu selalu mengabaikannya karena profesinya itu. Yonghwa hanya ingin memperbaiki masalalunya dengan memberikan perhatian yang dulu tidak pernah dia berikan pada Shinhye. Dia tidak ingin membuat Shinhye merasa terabaikan lagi entah itu karena Jiwon ataupun pekerjaannya.

“Yonghwa?” Sebuah suara familiar itu berhasil mencuri perhatian Shinhye dan Yonghwa. Kedua alis Yonghwa terangkat melihat Jiwon sudah berdiri didepannya. Jiwon tampak terkejut melihat Shinhye berdiri disamping Yonghwa.

“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Yonghwa pada Jiwon, dan Shinhye bisa mendengar nada tidak suka dalam suara pria itu. Satu tangan Yonghwa kini terangkat memeluk pinggang Shinhye dengan posesif seakan tidak ingin membuat Shinhye salah paham akan kehadiran Jiwon.

Mata Jiwon menyipit melihat tangan Yonghwa yang memeluk erat pinggang Shinhye. Hatinya terasa diremas. Dia tidak menyangka bahwa keputusan Yonghwa untuk kembali mendekati Shinhye sudah tidak bisa diubah. Apapun yang dia katakan malam itu, sama sekali tidak membuat pria itu goyah dan itu sungguh mencekiknya.

 “Aku kesini karenamu.” Jawabnya pada akhirnya. Dia memasang wajah datar, menyembunyikan raut terluka miliknya. Jiwon melirik sebentar kearah Shinhye kemudian menggeser pandangannya kembali pada Yonghwa. “Kau tidak pernah menjawab panggilanku beberapa hari ini, dan saat aku datang ke apartemenmu, kau tidak pernah ada.”

Shinhye berdecak cukup keras melihat Jiwon yang mulai memasang wajah seolah ingin dikasihani. “Aku seperti sedang menonton drama mellow.” Sindirnya sebelum ia kembali menyesap sisa whiskey ditangannya sampai habis. “Kalian bicaralah berdua.” Tambahnya sembari menaruh gelas whiskey yang sudah kosong diatas bar counter. Dia akan beranjak namun tangan Yonghwa yang memeluk pinggangnya menahannya. Shinhye menatap Yonghwa dengan raut tanya namun pria itu justru memandang lurus pada Jiwon.

“Shinhye-ya, kenalkan wanita didepanmu adalah Jiwon, sahabatku.” Suara Yonghwa terdengar begitu serius tapi matanya masih mengunci pandangan Jiwon yang kini tampak tidak dalam keadaan baik. “Jiwon-a, Shinhye adalah kekasihku.” Tambahnya tegas sukses membuat sarat luka perlahan menghiasi wajah cantik Jiwon.

“Yong….” Jiwon tidak bisa melanjutkan kalimatnya, ia terlihat putus asa. Dia tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa sakit dan harga dirinya terasa diinjak menerima perlakuan Yonghwa. Cara pria itu berbicara dan menatapnya seolah menjelaskan bahwa pria itu kembali menolaknya mentah-mentah dan dia tidak akan pernah mendapatkan tempat spesial itu dihati Yonghwa. Seolah dalam diam memperingatkannya untuk tidak mengulangi kesalahannya sama seperti dulu.

“Aku harap kau mengerti maksudku. Kau sahabatku Jiwon-a.” Yonghwa menekankan setiap kalimatnya. Dia hanya berharap, Jiwon mengerti dimana posisinya tanpa Yonghwa harus mengeluarkan kalimat yang mungkin tidak ingin dia dengar.

Jiwon mengangkat dagunya dan menelan airmatanya bulat-bulat. Kedua sudut bibirnya dia tarik paksa membentuk senyuman kaku. Dia sadar kalau semua perjuangannya selama ini sia-sia. Melihat sikap Yonghwa saat ini, dia tahu bahwa jika dia masih mengusik mereka, maka dia akan kehilangan Yonghwa bahkan mungkin pria itu tidak akan menganggapnya sahabat lagi. “Selamat untuk kalian.” Lirihnya, dia mencuri pandang Shinhye sebentar sebelum berbalik pergi meninggalkan mereka berdua.

Yonghwa menghela panjang setelah kepergian Jiwon. Dia merasa bersalah karena menyakiti Jiwon tapi kali ini dia harus tegas atau kesalahan yang dulu dia lakukan akan terulang lagi. Dia tidak ingin kehilangan Shinhye untuk kedua kalinya. “Kau baru saja mengenalkan aku sebagai kekasihmu pada sahabatmu itu?” Shinhye bergumam dalam senyuman tidak percayanya. Dia hanya terlalu terkejut. “Kau serius?”

“Kenapa?” Jemari Yonghwa terangkat mengusap lembut alis Shinhye kemudian bergerak pada rambut indah wanita itu. “Kau tidak menyukai itu?”

“Bukan tidak suka.” Shinhye menggeleng pelan. “Aku hanya tidak menyangka kau akan mengatakan itu.”

“Itu berarti kau menyukainya?”

“Apa?” Shinhye terkekeh mendengarnya. “Bagaimana bisa kau menyimpulkannya begitu?”

“Kau menyukainya atau tidak?”

“Hei… untuk apa mempermasalahkan ini?”

“Jawab saja. Suka atau tidak?” Shinhye tertawa renyah melihat betapa bersikukuhnya Yonghwa ingin mendengar jawaban atas pertanyaan yang terdengar cukup konyol itu. “Ayolah, kau hanya tinggal menjawab suka atau tidak?”

“Baiklah, aku suka.” Sahut Shinhye akhirnya. Jarinya mengusap airmata akibat tawa tadi dari sudut matanya.

Yonghwa mengulum senyuman puasnya mendengar jawaban Shinhye. “Suka apa?” Tanyanya lagi, tampaknya dia masih belum puas mendengar jawaban Shinhye tadi.

Shinhye memutar bola matanya menanggapi sikap Yonghwa. “Suka kau menyebutku sebagai kekasihmu sayang.” Ujarnya. “Sudah puas sekarang?” Lalu mereka tertawa kecil menyadari sikap kekanakan mereka sendiri.

Sepasang mata legam Yonghwa menyelami mata coklat yang berbinar senang didepannya. Mata yang bersinar terang sehingga siapapun yang melihatnya tidak ingin beranjak dari pandangannya. Entah berapa lama mereka saling bertukar pandangan sampai tanpa mereka sadari, bibir mereka sudah bertemu. Kedua tangan Yonghwa menangkup wajah Shinhye sementara tangan wanita itu memeluk pinggangnya. Di tengah musik yang berdentum di dalam bar itu, mereka bertukar ciuman lembut.

Sementara Jiwon yang ternyata belum benar-benar pergi hanya bisa mematung, menyaksikan itu dengan airmata yang terus mengalir. Memutar kembali saat-saat dia dengan egois ingin membuat Yonghwa selalu disisinya. Saat dimana dia ingin menyingkirkan Shinhye dengan membuatnya merasa dinomorduakan oleh Yonghwa. Ya, dia memang berhasil menyingkirkan Shinhye tapi dia tidak pernah bisa memiliki Yonghwa.

Flashback

Shinhye membaca kembali secarik kertas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa ia tengah mengandung janin berusia empat minggu. Airmukanya tampak setenang air mengalir, tidak bisa ditebak apa yang tengah ia rasakan dan apa yang ada dalam pikirannya. Sampai perlahan bibirnya tertarik membentuk seulas senyuman tipis. Ia menghembuskan nafas pelan, memasukkan surat itu ke saku coatnya lantas mengusap perutnya yang masih tampak datar.

“Hei…” Shinhye menundukkan kepalanya sambil mengusap-usap perutnya. “Jangan cemas, appamu akan senang mendengar kabar ini. Dia akan menerimamu dengan baik.” Katanya penuh keyakinan. Ia tersenyum senang kemudian mempercepat langkahnya menuju apartemen mereka. Kedua tangannya mempererat coatnya lalu memeluk tubuhnya sendiri, menjaga agar tetap hangat ditengah angin musim dingin itu.

Shinhye menekan kode pintu apartemen dengan wajah bersemangat miliknya. Ya, dia akan mengatakan pada Yonghwa tentang kehamilannya lalu mereka bisa segera menikah dan hidup selayaknya keluarga kecil yang bahagia.Yong!” Seru Shinhye dengan suara cerianya sambil membuka sepatunya. Dia berjalan cepat memasuki apartemen itu namun senyumannya menguap saat ia melihat Jiwon berbaring di sofa sambil menonton televisi. “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Shinhye namun Jiwon hanya meliriknya sekilas kemudian mengabaikannya seolah tidak ada dia disana. “Aku bertanya padamu.” Ujarnya tegas sambil meletakkan tasnya di atas sofa.

“Apa aku membutuhkan alasan untuk datang ke apartemen sahabatku sendiri?” Balas Jiwon acuh tak acuh.

Shinhye berdesis mendengar jawaban itu. Matanya menyusuri setiap sudut tempat itu mencari tanda-tanda keberadaan Yonghwa. Tapi ia kembali menatap Jiwon ketika tidak menemukan sosok yang ia cari. “Dimana Yonghwa?”

“Membelikan makanan untukku.” Sahut Jiwon enteng.

“Kau menyuruhnya?”

“Dia yang dengan suka rela keluar dan membelikan makanan untukku.”

Shinhye mendengus kesal. “Kau tahu kalau dia baru pulang dari pertandingan kemarin dan dia sedang tidak enak badan. Aku bahkan tidak mengijinkannya mengantarku bekerja agar dia bisa beristirahat tapi lihatlah apa yang kau lakukan sekarang…” Bola mata Shinhye bergerak naik-turun memerhatikan Jiwon yang kini mengambil posisi duduk disofa. “….kau dengan santainya duduk disini dan membuat Yonghwa keluar dibawah salju untuk mencarikanmu makanan? Apa kau bercanda?”

“Dengar, kalau Yonghwa mengatakan padaku dia sedang sakit, aku tidak akan membiarkannya keluar.” Balas Jiwon membela diri.

“Bagaimana bisa dia mengatakannya sementara dia selalu berada dibawah kendalimu? Dia akan seperti pelayanan yang takut pada bosnya.” Shinhye memejamkan matanya sambil mengusap dahinya sendiri dengan satu tangan. “Jiwon-ssi, berhentilah memperlakukan Yonghwa seperti ini. Aku tahu kau banyak membantunya tapi bukan berarti kau bisa mengendalikannya. Dia juga memiliki hidup sendiri.”

Jiwon menggigit bibirnya sendiri menahan marah mendengar ucapan Shinhye. “Kau benar-benar iri karena aku menjadi sahabat Yonghwa bukan? Kau cemburu karena aku mengenalnya jauh lebih dulu daripada kau mengenalnya.”

“Aku sama sekali tidak masalah kau menjadi sahabat Yonghwa. Tapi yang menjadi masalah adalah kau tidak tahu dimana tempatmu.” Tepat setelah Shinhye mengatakan itu, Yonghwa yang baru datangpun berjalan masuk sembari membawa satu kantong plastik berisi makanan ditangannya.

“Ada apa ini?” Tanya Yonghwa saat merasakan atmosfer tegang menyelimuti kedua wanita didepannya. Dia menaruh kantong plastik yang sedari tadi dia bawa keatas meja.

Jiwon berdiri dari duduknya lantas menatap tajam pada Shinhye seolah menantang untuk kembali berdebat dengannya. “Yonghwa-ya, katakan padaku. Apa aku menyusahkanmu selama ini? Apa aku menjadi parasit diantara kalian?”

Dahi Yonghwa berkerut mendengarnya. “Apa yang kau katakan?”

Shinhye berdecak pelan melihat apa yang dilakukan Jiwon. “Berpikirlah sedikit lebih cerdas. Kau pikir Yonghwa akan menjawabnya dengan jujur jika kau bertanya begitu?”

“Shinhye-ya, apa yang kau bicarakan?”

“Kekasihmu itu, mengatakan kalau aku tidak tahu tempat dan dia memintaku untuk berhenti mengusikmu.” Jiwon memasang wajah sedihnya didepan Yonghwa. “Aku tahu dia memang sejak awal tidak menyukaiku. Tapi bagaimana bisa dia secara terang-terangan memintaku menjauhimu?”

“Whoa~ aktingmu sangat bagus!” Sela Shinhye sarkastik sambil menepuk tangannya, memasang wajah takjub dibuat-buat.

“Shinhye-ya.” Yonghwa menyebut namanya dengan nada memperingatkan.

“Kau dengar? Dia sangat membenciku. Tidak tahu apa yang dia inginkan?”

Shinhye memutar bola matanya muak mendengar Jiwon. “Oh please, berhentilah memiliki dua wajah. Untuk apa kau memiliki dua wajah kalau keduanya sama buruknya?” Demi Tuhan, dia benar-benar tidak tahan melihat wajah palsu Jiwon untuk menarik perhatian Yonghwa.

“Park Shin Hye!” Bentak Yonghwa cukup keras.

“Jangan membentakku didepan dia karena itu hanya akan membuat sahabatmu itu semakin melambung.” Balas Shinhye tak kalah tajamnya dengan bentakan Yonghwa.

“Aku tidak akan membentakmu jika kau menjaga mulutmu itu.”

“Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenyataannya dia memang begitu.” Jeda sejenak, ekor matanya menatap Jiwon yang kini mengulum senyuman puasnya. “Lihat, dibalik wajah manisnya itu, dia tersenyum senang melihat kita bertengkar. Dia pasti bahagia sekali kau membelanya seperti ini.” Katanya tepat sasaran dan membuat Jiwon menelan senyumannya tadi.

Yonghwa berkacak pinggang dan menghembuskan nafas keras-keras. “Jiwon-a, maafkan aku. Kau pulanglah dulu.” Pintanya pada Jiwon yang mengangguk menyetujuinya. Jiwon sempat melemparkan smirk ketus miliknya pada Shinhye sebelum dia menghilang dibalik pintu apartemen itu. “Sekarang apa? Kau sudah puas membuatku malu?”

“Malu?”

“Ya. Kau membuatku malu didepan sahabatku sendiri. Sikapmu sungguh kekanakan!”

“Kekanakan?” Shinhye menggeleng tak percaya. “Terserah katamu.” Putusnya lalu dia melangkah masuk ke dalam kamar.

Yonghwa mengambil langkah lebar menyusul Shinhye memasuki kamar lantas meraih lengan wanita itu dengan cukup kasar sehingga mereka saling berhadapan ditengah kamar itu. “Dengar, aku benar-benar tidak suka caramu memperlakukan Jiwon. Kau harus minta maaf padanya.”

“Tidak.”

“Park Shin Hye!” Yonghwa kembali membentaknya, kali ini lebih keras. Dia benar-benar tidak dalam keadaan baik saat ini. Kepalanya terasa pening dan sikap keras kepala Shinhye menambah buruk itu. “Kau tahu siapa dia? Dia adalah orang yang membantuku meraih mimpiku. Dia selalu ada saat aku kesulitan sebelum aku memulai karirku. Dia banyak menolongku. Sedangkan kau? Yang kau lakukan hanya berbicara kasar dan menyakiti orang lain. Kau bersikap sesuka hatimu dan berbicara semaumu!” Telunjuknya menunjuk tepat didepan wajah Shinhye, membiarkan amarahnya lepas tanpa kendali.

Mata Shinhye menatap tajam telunjuk Yonghwa yang menunjuk didepan wajahnya. “Turunkan jarimu.” Pintanya, dia benci ditunjuk dengan kasar seperti itu. “Setidaknya aku tidak pernah berpura-pura. Dan perlu kau ingat, aku benar-benar benci dibandingkan-bandingkan dengan orang lain.”

“Jika tidak ingin dibandingkan, maka bersikap baiklah! Jika tidak bisa bersikap baik maka setidaknya jangan melakukan atau mengatakan hal buruk yang membuatku marah! Kau selalu membuatku kesal dengan segala hal yang kau lakukan!” Geram Yonghwa meledakkan segala kekesalannya. Badannya benar-benar lelah dan dia sedang tidak sehat ditambah lagi melihat pertengkaran Shinhye dan Jiwon benar-benar membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak marah.

Shinhye menipiskan bibirnya menahan sakit hatinya. Apa yang baru saja dikatakan Yonghwa seolah menyadarkannya betapa buruk dirinya dimata pria itu. “Kenapa aku selalu merasa aku tidak cukup baik untukmu?” Suaranya terdengar rendah tertahan.

“Karena kau keras kepala! Kau egois! Kau selalu berpikir dan bersikap semaumu! Kau tidak pernah memikirkan orang lain! Apa yang aku sukai dan apa yang kuinginkan tidak pernah berarti untukmu!” Teriak Yonghwa didepan wajah Shinhye.

“Tolong berhenti berteriak padaku!” Teriak Shinhye sambil mengangkat kedua tangannya disisi telinganya, kali ini airmatanya dia biarkan menetes. Dadanya naik-turun kesulitan mengatur nafasnya yang terasa sesak. “Aku tahu aku orang buruk tapi aku sudah cukup menyakiti diriku sendiri karena hal itu dan sekarang kau berteriak dan mengatakan semua hal menyakitkan didepan wajahku semakin menambah luka itu hingga tidak bisa aku tanggung.” Satu tangan Shinhye yang bergetar terangkat menutup matanya yang terus meneteskan airmata. Dadanya begitu sesak hingga ia ingin muntah. Tempat itu menjadi begitu dingin mencekam. “Aku benar-benar lelah.” Kata Shinhye setelah ia berhasil sedikit menenangkan dirinya. Yonghwa hanya diam menunggu Shinhye melanjutkan kalimatnya, dia memiliki insting buruk tentang ini. “Aku muak dengan hubungan ini. Aku kecewa padamu. Setelah semua yang terjadi, aku sadar bahwa aku tidak pernah benar-benar bahagia bersamamu.”

Yonghwa mengepalkan kedua tangannya. Rahangnya mengeras mendengar itu. “Apa yang kau katakan?” Suaranya terdengar berat.

“Ayo kita putus.” Tepat saat itu, airmata Yonghwa menetes begitu saja. Dia tidak menyangka Shinhye akan mengatakan ini padanya. Wajah tampannya memerah dan hatinya terasa disayat tanpa ampun. Perih. “Kita akhiri saja semuanya.” Tambah Shinhye memperjelas ucapannya tadi.

“Itu yang kau inginkan?” Tanyanya dengan suara paraunya. Tenggorokanya terasa kering dan tercekat. Dia menatap kedalam mata Shinhye, menunggu jawaban wanita itu. Dia berharap, Shinhye akan menarik ucapannya dan mengatakan padanya bahwa dia hanya bercanda tadi. Tapi tidak, setelah ia menunggu cukup lama, Shinhye hanya diam dengan tatapan dinginnya. Yonghwa terkekeh sumbang saat dia tahu wanita itu benar-benar ingin mereka berpisah. “Baiklah, jika itu yang kau mau. Mari kita akhiri.” Lanjutnya dengan suara diseret, membutuhkan seluruh tenaganya untuk berhasil menyelesaikan kalimat menyakitkan itu.

Yonghwa membiarkan tubuhnya yang tiba-tiba merasa lemas itu jatuh terduduk di ranjang saat ia melihat Shinhye berbalik dan berjalan ke depan lemari. Mengambil tasnya dan memasukkan pakaiannya kedalam tas dengan cepat. Diperhatikannya punggung Shinhye yang sibuk mengemas pakaiannya. Ingin rasanya dia memeluknya dan menahannya untuk tidak pergi. Tapi dia tidak bisa. Dia terlalu pengecut untuk melakukan itu. Dia ingin mengatakan sesuatu untuk mempertahankan hubungan itu namun dia tidak bisa membuka mulutnya, suaranya tidak mau keluar seolah dia tiba-tiba menjadi bisu. Yang dia lakukan hanyalah duduk lemah memerhatikan Shinhye yang mengemas pakaian dengan airmata dan perasaan hancur berkeping-keping.

Shinhye menghapus airmatanya lalu menutup resleting tasnya setelah selesai mengemas semua pakaiannya. Lalu dia memutar tubuhnya menatap mata merah Yonghwa dengan tatapan tajam. Pelupuk matanya basah digenangi airmata yang menunjukkan rasa marah dan terluka. “Setelah ini, tidak akan ada lagi orang yang egois dan hanya bisa membuatmu kesal ini.” Katanya dengan suara bergetar. “Tapi suatu hari, aku harap kau akan melihat kembali apa yang pernah kita miliki dan menyesali setiap hal yang sudah kau lepaskan. Suatu hari nanti, kau akan mengingatku dan betapa aku mencintaimu kemudian kau akan membenci dirimu sendiri sudah melepaskanku.” Wajahnya sarat akan luka dan kekecewaan mendalam.  Suaranya tajam penuh amarah terus menusuk telinga Yonghwa dan seakan sanggup mengoyak jiwa pria itu tanpa ampun hingga pria itu tidak mampu melakukan apapun melainkan duduk membisu tanpa sanggup berucap maupun bergerak sedikitpun. Yonghwa  seolah merasa lumpuh secara tiba-tiba.

“Aku bersumpah, suatu saat kau akan menyesalinya Yonghwa. Kau akan menyesal telah membuatku hancur. Dan penyesalan itu, akan menghantuimu seumur hidupmu, menggerogoti hatimu hingga airmatamu habis untuk menangisi kesalahanmu setiap malam.” Tatapan dan wajahnya sama dinginnya menghujam Yonghwa hingga mampu membekukan pria itu. Dia sudah termakan emosi, kenyataan bahwa Yonghwa berteriak didepan wajahnya dan melemparkan kalimat menyakitkan padanya disaat dia tengah mengandung membuatnya begitu marah dan kecewa. Shinhye melemparkan tatapan tajamnya pada Yonghwa yang masih membisu sekali lagi lalu dia berjalan dengan punggung dinginnya keluar dari kamar itu dan membanting pintu kamar tanpa sekalipun melirik Yonghwa. Meninggalkan Yonghwa menatap kosong dinding putih  dan menangis dalam keheningan merasakan dingin yang menjalari tubuhnya hingga kedalam tulangnya dan perlahan hatinya ikut membeku. Cintanya. Harapannya. Kebahagiannya. Segalanya hancur. Mereka hancur didepan matanya.

Disisi lain, Shinhye berhenti didepan gedung apartemen Yonghwa. Dia merogoh saku coatnya dan mengambil surat dari rumah sakit yang seharusnya dia tunjukkan pada Yonghwa. Tangannya menggenggam erat kertas itu dan membuat airmatanya menetes diatasnya. Lalu dengan amarah yang sudah menguasai dirinya, dia merobek kertas itu menjadi beberapa bagian lantas membuangnya ke bak sampah. “Kau tidak membutuhkan appamu. Aku juga tidak membutuhkannya. Sekarang hanya ada kita berdua.” Gumamnya sambil memegang perutnya. Dia menarik nafas panjang, mengusap airmatanya lalu berjalan meninggalkan apartemen yang mungkin tidak akan pernah ia datangi lagi.

‘Aku harap kau mengerti berapa banyak aku mengorbankan diriku saat aku memutuskan untuk menyerah padamu. Seharusnya kau tahu, aku adalah tipe yang akan memberi kesempatan tanpa habisnya, akan selalu mengalah dan mendukungmu bahkan jika kau salah dan akan sepenuhnya menerimamu apa adanya. Bahkan jika sekalipun dunia tidak meginginkanmu, aku akan menerimamu. Jadi saat aku menyerah padamu, tolong pahami bahwa membutuhkan segala hal yang tersisa dalam diriku untuk meninggalkanmu. Karena aku perduli padamu dan aku mencintaimu dan tidak ada hal didunia ini yang tidak akan kulakukan untukmu.’

Flashback End

Sore itu, Shinhye berjalan pulang dari tempat kerjanya. Hari ini, dia melarang Yonghwa menjemputnya sebab dia tahu Yonghwa pasti lelah setelah bertemu dengan sponsor dan mempersiapkan diri untuk pertandingan selanjutnya. Shinhye tersenyum menyadari kedekatannya dengan Yonghwa dan Joonhee. Dia hanya berharap bahwa Yonghwa sudah benar-benar meninggalkan masa lalunya dan mulai mencintainya sepenuhnya. Jujur saja, dia merasa tidak tenang memikirkan kemungkinan bahwa ibu Joonhee kembali datang dalam hidup Yonghwa dan anak itu.

“Aku sangat bahagia melihat Shinhye dan Yonghwa kembali bersama.” Shinhye mengerutkan dahinya mendengar suara Nyonya Park. Kakinya secara otomatis bergerak menuju sumber suara dan kerutan dikeningnya semakin dalam melihat Nyonya Park dan Hongki duduk disofa dengan suara serius mereka. “Walaupun Shinhye tidak mengingat mereka, tapi aku bersyukur mereka memulai cerita baru. Ini semua berkat bantuanmu Hongki-ya, kau yang mempertemukan Yonghwa pada Shinhye lagi.” Mulut Shinhye terbuka samar mendengar apa yang diucapkan Nyonya Park. Otaknya bekerja keras mencoba mengartikan ucapan ibunya itu. Bersyukur karena dia dan Yonghwa memulai cerita yang baru? Meski dia tidak mengingat mereka? Mereka siapa? Joonhee dan Yonghwa? Tidak mungkinkan…. Oh Tuhan, jangan-jangan…

Mata Shinhye melebar setelah dia mulai bisa menyerap arti ucapan itu, tubuhnya tiba-tiba meremang memikirkan kemungkinan itu. Namun dia masih diam, berdiri dan mendengarkan percakapan itu. “Aku hanya tidak tahan melihat Yonghwa hanya melihat Shinhye dari jauh. Aku harap Shinhye tahu bahwa Joonhee adalah anaknya bersama Yonghwa.” Shinhye merasakan jantungnya berhenti berdetak mendengar apa yang baru saja dikatakan Hongki. Dunianya seakan runtuh dan kepalanya berputar-putar. Airmatanya menetes diwajahnya yang terasa dingin. Pandangannya mengabur. Seperti orang linglung, dia memaksa pikirannya yang terasa blank itu untuk mencerna semua yang dia dengar.

Kenyataan bahwa dia dulu memiliki hubungan dengan Yonghwa. Juga kenyataan bahwa Joonhee adalah anaknya bersama pria itu.

Shinhye merasakan bibirnya mengering. Airmatanya yang hangat menetes diatas pipinya yang dingin. Wajahnya pias. Bola matanya yang digenangi airmata tampak bergerak kecil. Nafasnya mulai tidak stabil, terasa sesak menyiksa. Ia merasa pening. Kepalanya berdenyut saat dia berusaha menggali memori dikepalanya mencoba mengingat masa lalunya tapi semakin dia memaksa mengingat, semakin ia merasa sakit menghantam kepalanya, rasanya begitu berat dan menyakitkan. Kemudian kelebatan-kelebatan gelap itu perlahan mulai terlihat samar. Suara-suara yang sudah tidak asing seakan berteriak ditelinganya. Kejadian yang seperti potongan film mulai berputar-putar didepan matanya. Pertengkaran. Teriakan. Kemarahan. Semua hal yang kerap kali hadir dimimpi dan benaknya itu kembali datang namun kini tampak lebih jelas.

Keringat dingin membasahi tengkuk dan wajahnya yang memucat. Nafasnya tersendat-sendat, terasa sesak. Shinhye mengangkat kedua tangannya diatas kepalanya saat merasakan kepalanya itu akan meledak saat itu juga. “Argh!” Jeritnya sudah tidak sanggup menahan apa yang ia rasakan.

Hongki dan Nyonya Park terkejut mendengar jeritan kesakitannya dan mata mereka melebar sempurna begitu melihat Shinhye tampak sangat pucat dan kesakitan. “Shinhye-ya!” Mereka berlari mendekati Shinhye yang hanya menahan isakan, sementara kedua tangannya semakin menekan erat kepalanya sendiri hingga perlahan wanita itu membiarkan tubuhnya terjatuh dilantai. Kedua lututnya ditekuk kedadanya dan tangannya menghimpit kepalanya semakin keras. Memperjelas segala hal yang berputar-putar didalamnya. “Shinhye-ya…” Nyonya Park segera memeluk tubuh kaku Shinhye yang bergetar hebat kedalam pelukannya. Ia menangis keras berusaha mengembalikan kesadaran Shinhye. Oh Tuhan, dia takut sekali melihat keadaan Shinhye saat ini.

Flashback

Shinhye melemparkan tatapan tidak sukanya pada pegawai mall didepannya yang tidak berhenti mengajaknya berbicara saat ia berbelanja perlengkapan bayi siang itu. “Nyonya sangat cantik dan tetap sexy bahkan saat hamil besar seperti ini. Aku jadi iri. Orang bilang, wanita bisa sangat cantik karena dicintai. Suamimu pasti sangat mencintaimu. Benarkan?” Pegawai itu tertawa kecil sambil memasukkan belanjaan Shinhye kedalam paper bag, masih tidak menyadari raut tidak menyenangkan dari Shinhye. “Aku yakin bayimu nanti juga akan tampan dan cantik. Oh tapi kenapa suamimu tidak menemanimu belanja?”

“Dia tidak ada.”

Wanita bertubuh mungil yang berdiri dibalik meja kasir itu memasang wajah bingungnya sebentar namun kemudian dia kembali tertawa pelan. “Ah~aku tahu, dia pasti sibuk, benarkan? Sudah berapa lama kalian menikah?”

Shinhye tidak langsung menjawab. Dia memberikan credit card-nya pada pegawai itu setelah menghitung semua belanjaannya. “Aku tidak memiliki suami. Dan aku tidak pernah menikah.” Ucapnya tajam berhasil membuat pegawai tadi terperangah.

“Kau bercandakan?” Pegawai itu masih berusaha mengeluarkan tawanya, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Shinhye.

Shinhye segera mengambil kembali credit cardnya dari tangan pegawai didepannya, setelah melakukan transaksi. “Aku tidak pernah bercanda.” Katanya ketus, dia mengambil paper bag miliknya. “Jadi berhentilah mencampuri hidup orang lain. Berbicara terlalu banyak dan bersikap sok tahu pada orang yang baru kau kenal itu berbahaya sebab kau tidak tahu latar belakang mereka. Hal yang kau anggap pujian bisa menjadi sebuah hinaan bagi orang lain.” Ucapnya sarkastik. Shinhye segera berjalan meninggalkan tempat itu. Tidak memerdulikan wajah memerah pegawai tadi karena malu mendapat ucapan tajam seperti itu didepan umum.

Satu tangannya membawa belanjaannya sementara tangan yang lain beristirahat diperutnya yang membesar, usia kandungannya kini menginjak delapan bulan lebih. Setelah dia mengakhiri hubungannya dengan Yonghwa, dia memutuskan untuk pulang ke Busan dan tinggal dirumah ibunya. Dia juga sama sekali tidak mendengar kabar dari pria itu lagi. Dan dia pikir, dia sudah tidak mempermasalahkan itu.

Shinhye tersenyum masam saat tanpa sengaja matanya melihat sebuah majalah yang menjadikan Yonghwa sebagai covernya. Berita kemenangan pria itu dalam pertandingan balap mobil tersiar dimana-mana, dan entah bagaimana itu membuatnya muak. “Ya, bagaimanapun juga, dia masih menghantui hidupku.” Bisiknya pada dirinya sendiri.

Shinhye berjalan menuju tempat dimana dia memarkirkan mobilnya. Dia membuka bagasi mobilnya dan meletakkan belanjaannya didalam sana. Kemudian ia berjalan menuju kursi kemudi lalu menjalankan mobilnya menembus keramaian Busan. Shinhye menyalakan radio didalam mobilnya dengan suara cukup keras namun dia segera berdesis sebal sebab radio itu juga menyiarkan berita tentang Yonghwa. Cepat-cepat ia mematikan radionya, tapi sedetik kemudian ponselnya berbunyi. “Oke, ketenangan memang tidak berada dipihakmu Shinhye.” Katanya pada dirinya sendiri. Satu tangannya melepaskan kemudi dan bergerak merogoh tas di kursi penumpang—disampingnya—mencari benda yang terus berbunyi itu. Shinhye melirik jalan didepannya sebentar lalu menoleh kepada tasny, hendak mengambil ponselnya. Saat entah bagaimana tiba-tiba sesuatu yang sangat keras menghantam sisi mobilnya dan menyeretnya keluar dari jalan hingga menabrak rambu-rambu jalan. Suara sesuatu tetabrak berdengung keras memekakkan telinganya berpadu dengan suara auman klakson dan beradu dengan decitan rem dan ban yang menggesek aspal. Kejadian itu begitu cepat. Ia bahkan tidak sempat berteriak ketika mobilnya dalam sekejap berbalik lalu ia merasakan kepalanya membentur sesuatu dengan keras, begitu sakit seolah hancur.

“To…long….” Lirihnya dengan sisa tenaga saat melihat orang-orang mulai mengerubungi mobilnya yang terbalik dan mengeluarkan asap itu. Ia merasakan darah kental mengucur dari kepalanya dan mengaliri wajahnya. Tangannya yang gemetar hebat dan berlumuran darah bergerak menyentuh perutnya. Nafasnya melemah, begitu lemah dan penglihatannya menjadi sangat buram, lalu setelah itu semuanya menjadi gelap. Gelap sekali hingga ia pikir, dirinya sudah mati.

* * *

“Shinhye kecelakaan. Mobilnya hancur setelah bertabrakan dengan truk. Dia…tidak sadar.” Suara bergetar Nyonya Park saat menelponnya tadi terngiang ditelinga Yonghwa membuat tubuhnya menggigil. Tadi saat Yonghwa dan rekannya mengadakan pesta kemenangannya dalam pertandingan, tiba-tiba Nyonya Park menghubunginya dan memberitahunya bahwa Shinhye mengalami kecelakaan hebat. Dunianya seakan jatuh didepan matanya. Jadi dia segera meninggalkan pesta itu dan terbang ke Busan untuk mencari Shinhye.

Yonghwa berlari memasuki rumah sakit dengan mata merah sembab, mencari ruangan dimana Shinhye dirawat. Dia tampak sangat cemas dan takut, perasaan takut untuk kehilangan. “Eommonim…” Panggil Yonghwa pelan setelah berdiri didepan Nyonya Park yang duduk di kursi tunggu dengan mata dan bibir bengkak akibat banyak menangis. “Shinhye?” Tanyanya pelan, dia takut akan mendengar kabar buruk.

Nyonya Park menyunggingkan senyuman samar. “Dokter masih menanganinya.” Sahutnya lemah yang mendapatkan sebuah anggukan dari Yonghwa.

“Nyonya Park.” Perhatian Yonghwa dan Nyonya Park tertuju pada seorang dokter yang berjalan keluar dari ruang operasi. Nyonya Park segera berdiri dari posisi duduknya. “Operasinya berjalan lancar, kami berhasil menyelamatkan cucu anda.”

Yonghwa mengerutkan dahinya mendengar ucapan dokter itu. “Cucu?” Tanyanya tidak percaya dengan apa yang didengarnya namun Nyonya Park hanya memberikan senyuman tipis dan memegang lengannya dengan lembut seakan memberitahunya untuk membahas ini nanti.

“Lalu putriku?” Tanya Nyonya Park lagi.

“Kami sudah menanganinya, jadi sekarang kita hanya perlu menunggunya sadar.” Sahut dokter itu dengan senyuman ramahnya. Ia kemudian sedikit menganggukkan kepala sebelum berjalan pergi meninggalkan Nyonya Park dan Yonghwa sendirian.

“Eommonim, apa maksud dokter tadi? Cucu siapa?” Tanya Yonghwa tidak mampu menahan pertanyaan dibenaknya.

“Duduklah.” Nyonya Park mengayunkan tangannya menunjuk kursi kosong, meminta Yonghwa duduk dan kemudian ia ikut duduk disamping Yonghwa. “Maafkan aku harus menyembunyikan ini. Sebenarnya,… Shinhye mengandung anakmu.” Ucap Nyonya Park dan untuk sesaat, Yonghwa lupa bagaimana caranya bernafas. Dia terlalu terkejut dengan apa yang dia dengar. “Saat kalian berpisah, dia tengah mengandung empat minggu.”

Yonghwa sempat tercengang mendengarnya, pikirannya mendadak kosong. Ia tidak mampu berpikir, juga tidak tahu harus berkata apa. Selama beberapa saat, keadaan menjadi hening. Tidak ada yang bersuara sampai ia mengeluarkan sebuah tawa, tawa yang menggambarkan perasaan pahit dan terkejut. “Kalau itu benar, lalu kenapa dia tidak memberitahuku?”

“Dia akan memberitahumu hari itu. Tapi dia mengurungkannya karena kalian bertengkar hebat. Dia terlalu marah dan kecewa padamu jadi dia memutuskan untuk tidak memberitahumu.”

Airmata Yonghwa menetes. Dia tidak bisa membayangkan betapa terlukanya Shinhye saat itu. Wanita itu tengah mengandung anaknya, tapi dia dengan bodohnya justru berteriak dan berkata kasar padanya Ia menarik nafas dalam-dalam sedikit melonggarkan dadanya yang sesak. “Tetap saja, seharusnya dia memberitahuku. Jika dia memberitahuku, aku tidak akan memarahinya, aku tidak akan membiarkannya pergi.” Lirihnya, menyesali apa yang terjadi. Dia mengusap kasar wajahnya, marah dan kecewa pada dirinya sendiri. “Kenapa eommonim tidak memberitahuku selama ini? Kenapa baru memberitahuku sekarang? Sampai kapan kalian berencana menyembunyikan ini dariku? Atau…jangan-jangan jika kecelakaan ini tidak terjadi, maka kalian tidak akan pernah memberitahuku selamanya? Tapi bagaimana kalau sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Shinhye dan bayinya karena kecelakaan ini? Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika itu terjadi.” Cecar Yonghwa panjang lebar, pikirannya benar-benar kalut. Ia merasa sangat berantakan saat ini.

“Kau tahu betapa keras kepalanya Shinhye. Aku sudah berkali-kali membujuknya untuk memberitahumu tapi dia menolak. Dia mengatakan padaku bahwa kau tidak menginginkannya lagi dan kau tidak akan suka mendengar kehamilannya.”

“Oh Tuhan, bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Park Shin Hye.” Yonghwa nyaris memukul dirinya sendiri mendengar itu. Sedalam itukah luka yang di torehkan pada Shinhye hingga wanita itu menyembunyikan kehamilannya dan justru pergi meninggalkannya begitu saja. Hingga wanita itu berpikir bahwa dia tidak menginginkannya lagi.

* * *

Yonghwa berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan wajah segarnya. Dia membawa buket bunga ditangannya untuk Shinhye setelah mendengar kabar bahwa Shinhye baru saja  bangun setelah tiga hari tidak sadarkan diri. “Eomma sangat bahagia kau sadar. Cepatlah sehat lalu kau bisa bertemu Yonghwa.” Yonghwa tersenyum dibelakang pintu kamar rawat Shinhye ketika mendengar suara Nyonya Park.

“Yonghwa?” Shinhye mengulang ucapan Nyonya Park. “Yonghwa siapa?” Tanyanya lagi, membuat tangan Yonghwa yang nyaris membuka pintu itu terhenti diudara.

Nyonya Park mengernyit. “Yonghwa. Jung Yong Hwa. Tidak mungkin kau lupa bukan?”

“Jung Yong Hwa siapa?” Dahi Shinhye berkerut dalam lalu sedetik kemudian dia tertawa nyaring. “Jangan katakan kalau dia karakter dalam drama kesukaan eomma?”

Nyonya Park tercenung melihat reaksi Shinhye. Dia menatap lurus-lurus pada Shinhye mencoba menyelami apa yang ada dalam benak putrinya itu. Mungkin saja, Shinhye hanya berpura-pura tidak mengenal Yonghwa karena masih marah pada pria itu. Tapi tidak. Dia tidak melihat emosi dimata Shinhye ketika menyebut nama Yonghwa. Shinhye justru tampak bingung dan penasaran seolah nama Yonghwa baru pertama kali dia dengar.

“Hei! Kenapa eomma diam saja? Apa yang kukatakan tadi benar? Dia idola baru eomma-kan? Jika benar begitu, maka jangan berharap aku akan bertemu dengannya. Sebab aku tidak akan melakukan itu. Aku tidak ingin menjadi seorang fangirl yang menjabat tangannya lalu meminta tanda tangan dan berfoto bersama. Eww… itu bukan diriku.” Celoteh Shinhye sambil mengeluarkan tawa gelinya. Namun Nyonya Park hanya mampu diam dan memaksakan senyumannya.

Disisi lain, Yonghwa  kembali meneteskan airmata. Tangannya yang membawa buket bunga menggantung lemah diudara. Dia segera berjalan keruang dokter yang menangani Shinhye dengan wajah bingung dan menanyakan apa yang terjadi pada wanita itu. Sehingga, dokter itu kembali memeriksa kondisi Shinhye untuk menemukan jawabannya. Dan setelah memeriksa ulang, ternyata Shinhye mengalami amnesia. Dia tidak kehilangan seluruh memori didalam otaknya. Hanya saja, dia kehilangan sebagian memori  pada peristiwa tertentu, dia juga tidak bisa mengingat beberapa orang dalam jangka waktu 3 tahun, dia melupakan hal-hal yang membuatnya trauma, hal-hal yang mungkin memang tidak ingin dia ingat. Dan itulah kenapa, dia bisa mengingat hampir segala hal kecuali Yonghwa. Wanita itu, tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal seseorang bernama Jung Yong Hwa. Jadi karena hal itu, Yonghwa memutuskan untuk membawa bayi mereka yang ia beri nama ‘Jung Joon Hee’ bersamanya, hingga ingatan Shinhye pulih. Entah sampai kapan…

Flashback End

Yonghwa duduk disisi tempat tidurnya, memandangi fotonya bersama Joonhee dan Shinhye yang mereka ambil beberapa hari yang lalu dan ia jadikan wallpaper ponselnya. Sekarang, dia merasa hidup kembali setelah Shinhye kembali disisinya. Ia bersyukur Shinhye memutuskan untuk kembali ke Seoul sehingga mereka bisa bertemu kembali dan memulai cerita baru, meski wanita itu tidak mengingatnya. Yonghwa tersenyum bahagia ketika ia mendengar bel apartemennya dipencet dengar tidak sabar. Ia meletakkan ponselnya dimeja lalu menengok sebentar Joonhee yang masih tertidur pulas sebelum berjalan keluar kamar menuju pintu.

Tangannya segera membuka pintu didepannya dan tepat saat itu, satu tamparan keras mendarat dipipinya. Yonghwa tampak terkejut merasakan serangan tiba-tiba itu, pipinya terasa panas dan perih. Matanya mengerjap melihat siapa sosok yang menamparnya tadi. Namun ia semakin terkejut begitu mendapati Shinhye berdiri didepannya dengan wajah berantakan karena keringat dan airmata. “Shinhye? Ada apa denganmu?” Tanyanya cemas sambil membiarkan Shinhye masuk lalu menutup pintunya. “Duduklah, kau terlihat tidak baik.” Katanya, ia akan menuntun Shinhye duduk disofa namun wanita itu dengan sigap menepis tangannya.

“Sampai kapan kau akan berakting didepanku?” Tanya Shinhye sarkastik.

Kedua alis Yonghwa saling bertautan. Heran bercampur bingung.“Apa yang kau bicarakan?”

“Sampai kapan kau akan berpura-pura bahwa kita tidak pernah memiliki hubungan apapun sebelumnya? Sampai kapan kau berencana menyimpan kenyataan bahwa Joonhee adalah putraku?” Cecar Shinhye membuat airmuka Yonghwa berubah shock.

“Kau… mengingatnya?” Suaranya terdengar begitu pelan. Tampak ragu, dia merasa takut namun senang secara bersamaan.

“Ya. Aku ingat semuanya.” Sahutnya dengan bibir bergetar menahan tangis. Hatinya hancur melihat airmata Yonghwa meluncur begitu saja mendengar jawabannya. “Aku ingat bagaimana kau menyakitiku dan membuatku pergi. Aku ingat bagaimana kau membiarkan aku pergi. Aku ingat semuanya.” Shinhye mengepalkan tangannya lalu memukul-mukul dada Yonghwa dengan keras namun pria itu hanya diam menerima setiap pukulannya sementara airmatanya terus mengalir. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau adalah seseorang yang kulupakan itu? Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa Joonhee adalah putraku? Aku pasti terlihat seperti orang bodoh didepanmu kan?” Pukulan Shinhye semakin melemah lalu ia membiarkan tangisannya pecah. Dia berhenti memukul dada Yonghwa dan menyandarkan dahinya didada keras pria itu lalu menangis kencang disana. “Bagaimana bisa aku sebodoh ini? Seharusnya aku sadar saat melihat luka bekas jahitan diperutku, kecelakaan seperti apa yang membuat perutku dijahit seperti itu? Seharusnya aku juga sadar bagaimana bisa aku memberikan asi donor jika aku belum pernah melahirkan? Aku ini memang bodohkan?” Ya, seharusnya dia mencurigai semua itu dan tidak mempercayai ibunya dengan mudah.

“Maafkan aku…”

Shinhye menjauhkan kepalanya dari Yonghwa lalu kembali memukul pria itu dengan keras melampiaskan kemarahannya. “Aku membencimu Jung Yong Hwa. Aku sangat membecimu.”

“Maafkan aku. Ini salahku.” Yonghwa hanya bisa mengatakan maaf sambil menerima setiap pukulan yang diberikan Shinhye. Dia memang layak mendapatkan itu setelah semua yang dia lakukan. Jika bukan karena kebodohannya, Shinhye tidak akan pergi meninggalkannya dulu dan kecelakaan itu tidak akan terjadi, Shinhye tidak akan kehilangan ingatannya.

“Ya, itu memang salahmu! Salahmu!” Shinhye terus meraung-raung memukul Yonghwa hingga dia merasa lemah. Lalu dia kembali menyandarkan kepalanya didada Yonghwa dan terisak disana.

Yonghwa mengangkat tangannya memeluk erat tubuh berguncang Shinhye yang bersandar didada bidangnya. Diusapnya punggung wanita itu lalu ia mencium dalam-dalam kepala Shinhye. “Aku sungguh minta maaf.” Bisiknya. “Apa kau mau memaafkan aku? Dan memberiku kesempatan untuk memulai semuanya lagi?” Tanyanya penuh harap.

Shinhye mengangkat kepalanya dari dada Yonghwa lantas menatap mata pria didepannya itu lurus-lurus, memastikan sesuatu didalam sepasang mata legam yang kini tampak berair itu. “Apa kau sudah menyesali perbuatanmu?”

“Kau tidak akan pernah bisa membayangkan betapa besar penyesalanku.” Sahut Yonghwa membalas tatapan Shinhye dengan tatapan teduh miliknya. “Kau tidak akan pernah tahu betapa hancurnya aku setelah kau pergi. Semua ucapanmu saat kau meninggalkanku dulu, benar-benar terjadi. Setelah kau pergi, aku sangat menyesali segala kesalahanku. Aku tidak pernah tenang dan menangis setiap malam mengingatmu. Aku sungguh menyesal.”

Perlahan bibir Shinhye melengkungkan sebuah senyuman kecil. Senyuman yang menggambarkan kepuasan dalam hatinya. Dia puas mendengar jawaban Yonghwa, puas melihat ketulusan di pendaran mata pria itu, juga puas mendengar kejujuran dalam suara Yonghwa. Dan diatas segalanya, dia puas ketika mengingat perubahan Yonghwa, cara pria itu memperlakukannya dengan sangat baik ketika mereka memainkan game itu. Satu tangannya terangkat menangkup pipi hangat Yonghwa yang disambut oleh kecupan ringan dari pria itu ditangannya. “Aku senang kau menyesal. Itulah yang kuharapkan. Kau memang harus menyesalinya.”

Yonghwa tersenyum dalam airmatanya mendengar apa yang dikatakan Shinhye. Wanita itu marah, tapi dia ajaib, tidak ada kebohongan dalam api amarahnya. Shinhye adalah seorang badass dengan hati yang baik, dia kuat tapi lembut. Shinhye tidak memintamaaf tapi dia selalu berkata jujur akan apa yang dia rasakan. Shinhye adalah tipe wanita dimana semua pria akan berperang disampingnya dan tipe wanita yang layak diperjuangkan untuk menikahinya.

Mereka saling bertukar tatapan hangat yang menembus kedalam hati mereka. Sebuah tatapan yang membuat mereka tahu bahwa mereka saling memiliki. Tatapan yang memberikan getaran lembut didalam jiwamu. Mereka tidak tahu berapa lama mereka saling menyelam kedalam mata basah satu sama lain, sampai Yonghwa menarik wajah Shinhye kedalam ciuman lembutnya yang segera dibalas dengan ciuman yang sama lembutnya oleh Shinhye. Satu tangan Yonghwa menahan wajah Shinhye untuk tetap menciumnya sementara tangan yang lain menyelinap di punggung Shinhye, menyatukan tubuh ramping itu dengan tubuh kekarnya. Shinhye tersenyum merasakan cara posesif Yonghwa saat menyentuhnya, masih sama seperti dulu. Jadi dia membalasnya dengan memeluk erat pinggang pria itu tanpa melepaskan tautan bibir mereka.

Mata mereka terpejam merasakan gemuruh didada mereka, merasakan bahwa kelegaan dan kebahagiaan mereka akhirnya telah kembali ketempat masing-masing. Bibir mereka terus bergerak dengan gerakan gentle, saling melumat lembut bibir satu sama lain. Berusaha mendominasi apa yang mereka lakukan. Mereka hanya melepaskan ciuman itu setelah cadangan oksigen mereka telah habis. Dengan nafas tersengal, mereka mengeluarkan tawa kecil dari bibir merah dan basah mereka. Kemudian Yonghwa menarik Shinhye kedalam pelukan eratnya lagi dan kembali memberikan ciuman yang dalam di puncak kepala wanita itu. Tidak ada yang tahu betapa bahagianya dirinya saat ini. Shinhye bersedia memaafkannya dan kembali kepelukannya. Terutama saat ia merasakan bagaimana cara Shinhye membalas pelukan eratnya, cara wanita itu menyambut ciuman lembutnya, cara mata cantik itu menatap kedalam mata gelapnya dan cara wanita itu menangis didadanya. Dia tahu betapa besar Shinhye mencintainya. Dan itu membuatnya merasa hidup kembali. Seolah ia baru saja menghirup udara segara setelah bertahun-tahun merasa sesak. Dan soal game itu? Dia tidak masalah mengakui dirinya sebagai loser selama Shinhye kembali padanya.

~0~0~0~

Shinhye tersenyum melihat Yonghwa berjalan sambil menggendong Joonhee diatas bahunya saat mereka berjalan di sungai han pagi itu. Dia senang akhirnya Yonghwa menyadari kesalahannya dan kini, pria itu menjadi pria terbaik dalam hidupnya yang akan menempatkan dirinya diatas segalanya didunia ini. Sekarang, Yonghwa selalu mengutamakan Shinhye dan Joonhee. Pria itu akan memberikan waktu lebih untuk mereka berdua. Shinhye terkekeh pelan saat melihat Yonghwa merintih ketika Joonhee menjambak rambutnya. Shinhye memasukkan kedua tangannya kedalam saku coatnya saat tanpa sengaja ia menemukan sesuatu didalam sana. Ia menarik benda kecil berbentuk kotak berwarna biru itu lantas membukanya. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar begitu melihat sepasang cincin pasangan yang indah didalamnya.

“Oh kau sudah menemukannya?” Shinhye menaikkan pandangannya melihat Yonghwa yang berjalan mendekatinya. “Kau tidak terkejut?”

“Apa aku harus terkejut?”

“Yah!” Yonghwa tertawa mendengar jawaban Shinhye. Dia tidak menyangka Shinhye akan memberikan reaksi seperti itu. Biasanya, wanita akan terkejut atau bahkan menitihkan airmata merasa tersentuh menerima kejutan seperti ini. Tapi tampaknya itu tidak berlaku untuk Shinhye. “Ck, lihatlah. Seharusnya aku yang memakaikannya untukmu.” Dumelnya ketika Shinhye dengan santai mengambil cincin itu dan memakai dijari manisnya.

“Memangnya apa bedanya kau atau aku yang memakaikannya?” Balas Shinhye sambil memandang cincin dijari manisnya. Lalu dia mengambil cincin lainnya dari kotak tadi lantas memakaikannya dijari Yonghwa. “Baiklah, jadi kapan kita akan menikah?” Tanyanya to the point.

Yonghwa tertawa tidak percaya menghadapi sikap blak-blakan Shinhye. “Lihatlah, kupikir kau adalah satu-satunya wanita yang akan bertanya seperti itu.

Shinhye mengernyit. “Memangnya kenapa? Kau memberiku cincin seperti ini karena akan menikahiku bukan?”

“Ya, kau benar.” Sahut Yonghwa mantap namun senyuman geli tidak hilang dari wajahnya. “Tapi kau sama sekali tidak romantis.”

Shinhye mengerdikkan bahunya santai. “Aku tidak membutuhkan sesuatu yang romantis. Yang aku butuhkan hanyalah ketulusan dan keseriusanmu.” Balasnya ringan.

“Kau benar.” Yonghwa menurunkan Joonhee dari bahunya lantas menggendongnya dilengan kekarnya. “Dua bulan lagi, Joonhee akan berulang tahun yang pertama kalinya. Bagaimana kalau kita menikah dihari itu?”

“Baiklah, kita menikah dihari itu.” Jawab Shinhye menyetujuinya tanpa berpikir panjang. “Tapi, apa kau tidak apa-apa? Kau inikan seorang pembalap terkenal, apa kau tidak takut akan apa kata orang nanti saat mendengar kabar bahwa kau akan menikah dengan ibu dari anakmu saat anakmu berusia satu tahun?”

Yonghwa tersenyum simpul mendengar pertanyaan itu lalu dia membalas pertanyaan itu dengan pertanyaan yang sama. “Bagaimana denganmu? Apa itu menjadi masalah untukmu?”

Shinhye mengangkat pundaknya singkat lantas ia merangkul satu tangan Yonghwa yang tidak menahan tubuh Joonhee kemudian mereka berjalan beriringan. “Aku tidak memiliki masalah sama sekali. Aku tidak perduli apa yang orang lain katakan. Aku hanya mencemaskanmu.” Katanya.

“Itu juga berlaku utukku. Aku tidak perduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, yang terpenting adalah apa yang kita pikirkan untuk satu sama lain. Pada akhirnya, ini hubungan kita bukan mereka.”  Ucapnya mantap, kemudian dia menghela nafas dan kembali berbicara dengan suara seriusnya. “Shinhye-ya, apa kau ingin aku berhenti menjadi pembalap?” Yonghwa memerhatikan Shinhye dari sudut matanya. Dilihatnya, wanita itu hanya terdiam dengan wajah tenangnya. Dan entah mengapa rasanya begitu lama saat ia menunggu Shinhye membuka mulut menjawab pertanyaan itu.

“Itu adalah mimpimu.” Balas Shinhye setelah beberapa saat. Kepalanya sedikit mendongak, sepasang mata bulatnya memandang Yonghwa sejenak. Lalu perlahan seulas senyuman lembut tersemat dibibir mungilnya. “Aku sadar bahwa aku seharusnya tidak memaksamu melepaskan mimpimu. Aku akan mendukungmu.” Katanya kembali memandang lurus kedepan.

“Kau serius?”

“Aku tidak pernah seserius ini.” Sahutnya tanpa ragu. Ia kembali melemparkan seulas senyuman manisnya pada Yonghwa yang balas tersenyum padanya.

“Aku mencintaimu. Dan teruslah ingat bahwa kau selalu sangat berarti untukku dan akan selalu seperti itu.” Bisik Yonghwa.

“Aku juga mencintaimu dan ingatlah juga bahwa aku bukan hanya membutuhkan ucapan itu. Aku ingin kau selalu membuktikan perasaanmu itu dengan sikapmu.” Balasnya memberikan senyuman termanis miliknya pada Yonghwa yang balas tersenyum padanya dengan senyuman manis yang sama. Tangan Yonghwa terangkat memeluk posesif pinggang Shinhye seolah ingin menunjukkan pada semua orang bahwa wanita itu adalah miliknya. Sekarang, satu tangan Yonghwa menggendong Joonhee sementara tangan yang lain memeluk pinggang Shinhye. Mereka berjalan menyusuri jalan dengan wajah memancarkan kebahagiaan.

Angin bertiup lembut hari ini, meniupkan harapan dan kebahagiaan baru pada kami. Setelah semua yang terjadi, aku sekarang memahami apa arti ‘A woman’s worth’ yang sesungguhnya. Aku sudah mengerti bahwa dalam sebuah hubungan, kau tidak cukup dengan hanya merangkai kata manis atau hanya melakukan hal romantis untuk menunjukkan perasaanmu, sebab wanita layak mendapatkan lebih dari itu. Saat kau memiliki kesempatan untuk hidup bersama wanita yang kau cintai, kau seharusnya menunjukkan perasaanmu dengan bagaimana caramu memperlakukan wanita kau cintai itu. Bagaimana caramu membuatnya merasa bahwa dia dicintai, membuatnya merasa menjadi wanita paling beruntung didunia ini karena memilikimu. Jika wanita itu berarti untukmu maka tunjukkan padanya.

Dan aku akan menggunakan kesempatan yang Shinhye berikan padaku dengan baik. Aku tidak akan membuatnya merasa menjadi nomor dua lagi sebab dia tidak layak mendapatkannya. Aku akan memberikan waktu dan perhatianku sepenuhnya untuknya. Memperlakukannya seperti seorang Ratu dan menjadikannya seperti orang paling bahagia didunia ini, aku tidak akan menempatkan sesuatu lebih tinggi darinya sebab wanita itu layak mendapatkan seluruh kebahagiaan didunia ini. Sehingga senyuman diwajah cantiknya itu tidak akan pernah lenyap. Aku akan memperlakukan wanitaku ini dengan baik sebab jika aku memperlakukannya dengan baik, dia akan melakukan hal yang sama padaku. Tapi jika aku tidak melakukannya dengan baik, dia bisa pergi dan mendapatkan pria yang bisa memberinya yang terbaik. Karena pria sejati tidak akan pernah takut untuk membahagiakan wanitanya.

And a real man just can’t deny a woman’s worth.

The End

Dan inilah part final ff ini, jujur saja aku sendiri tidak percaya diri dengan ff ini. TT Ff ini sedikit wild dan agak lebih mature jika dibandingkan ffku sebelumnya. Tapi baiklah, aku harap ini gak terlalu mengecewakan ekspektasi kalian. Komentar dan masukan selalu diharapkan jadi aku tahu penilaian kalian, dan apa ada hal yang perlu kuperbaiki.

Last, terimakasih untuk readers yang membaca dan memberikan komentar. Kalian selalu jadi penyemangat buat aku nulis ff lain lagi. Love you :*

55 respons untuk ‘A Woman’s Worth (Part 2-END)

  1. Keren banget ceritanya…untung Shin Hye mau memaafkan Yong. Sepertinya Shin Hye puas dg penyesalan Yong slm ini.
    Setiap ujian pasti ada maksud Tuhan…agar kita mjd lbh baik dlm sgl hal.
    Ditunggu ff yg lainnya yah..

  2. Aku selalu menyukai apapun yang kau buat. Karena itu selalu memiliki cerita yang baik. Hahahahaha gomowoyoo Youra-ssi^^

  3. Geregetanbaca ffnya unnie ,
    Pas baca shin hye nampar yong ,
    Ta kirain shin hye gak bakal maafin yong ,
    Syukurlah ff nya berakhir happy ending ,
    Semangat terus nulisnya unie , fighting !!

Tinggalkan komentar